Menu

Mode Gelap

Artikel · 9 Jul 2025 11:54 WIB ·

Konsep Maslahah Mursalah Al Ghazali Sebagai Landasan Hukum UU. No 16 Th 2019 Tentang Batasan Usia Perkawinan


 Konsep Maslahah Mursalah Al Ghazali Sebagai Landasan Hukum UU. No 16 Th 2019 Tentang Batasan Usia Perkawinan Perbesar

PENDAHULUAN

Pasca meninggalnya Rasulullah SAW mulai banyak bermunculan permasalahan-permasalahan baru yang berkaitan dengan agama. Hal ini membuat para sahabat dituntut untuk berijtihaad dengan mengidentifikasi permasalahan yang muncul. Dalam menganalisis permaslahan yang ada, para sahabat berijtihad dengan cara melihat teks al Quran, dan hadis-hadis nabi SAW. Kemudian jika tidak ditemukan jalan keluar, maka para sahabat akan menempuh jalur musyawarah dengan menggunakan ra’yu yakni melalui analisis qiyas dan maslahah (Asriyati 2015).

Masa ini merupakan awal munculnya permasalahan perkembangan hukum islam. Dalam sejarah tercatat bahwa, telah terjadi perkembangan teori dalam hukum islam. Perkembangan ini tentunya berkaitan erat dengan adanya taghayur al-zaman wa  al-amkan (Hazairin 1963). Maka hal ini perlu adanya pembaharuan hukum yang menjadi ciri khas dari hukmu al-islam. Konsep maslahah menjadi bahasan yang fundamental dalam perkembangan hukum islam.

Kehadiran para pemikir muslim yang berani untuk menginterpretasikan hukum baru sangatlah dibutuhkan (Alim 2010). Hal ini dikarenakan banyaknya bermunculan problematika umat. Salah satu bentuk jalan istinbat yang bisa dipilih adalah melalui maslahah mursalah.

Maslahah mursalah merupakan salah satu metode yang masyhur digunakan oleh pakar fikih untuk beristinbat.  Salah satu ulama yang menggunakan metode ini adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Al-ghazali menggunakannya untuk kasus yang tidak ada nash dalam al quran maupun hadis. Menurut ulama yang masyhur dengan sebutan hujjah al-islam metode maslahah adalah bentuk metode dengan jalan meraih manfaat atau menghindarkan madharat yakni kearah memelihara maudhu’ as-syar’i. Tujuan ini meliputi hifdzu addin, nafs, aql’, nasl, dan mal.

Perkawinan usia dini menjadi salah satu polemik yang hangat diperbincangkan di berbagai daerah. Penentuan usia perkawinan menjadi bukti adanya pembaharuan hukum islam yang mementingkan kemaslahatan.  Penentuan batas usia nikah tidak ditentukan oleh syariat. Hal ini menjadikan manusia berusaha untuk berijtihad sendiri sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun dalam merumuskan hukum tetap sejalan dengan tujuan syariat (Rofiq 2013).

Batas usia perkawinan disamaratakan menjadi Sembilan belas tahun bagi laki-laki dan wanita. Perubahan ini terjadi setelah adanya perubahan UU nomor 1 tahun 1974 pada pasal 7 ayat 1 tentang Batasan usia perkawinan, menjadi UU nomor 16 Tahun 2019 yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1, bahwa ketentuan pasal 7 diubah sehingga berbunyi, perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan Wanita sudah mencapai umur semilan belas tahun.

Perubahan pasal ini didasari atas beberapa pertimbangan yang matang. Diharapkan dengan perubahan usia minimal perkawinan ini bisa meminimalisir derasnya angka kelahiran dan rasio kematian pada ibu dan anaknya (Zahra dkk 2013).

Adanya perubahan UU tentang batas usia perkawinan tentunya memberikan dampak positif, hal ini dikarenakan perkawinan anak usia dini merupakan hal yang dilematis. Banyak orang tua yang mengabaikan kesiapan dan kematangan psikologi anaknya sehingga mereka sesukanya menikahkan diusia muda.

Dari pemaparan diatas, maka bisa dipahami bahwa teori maslahah mursalah memiliki peranan yang sangat fundamental sebagai alat beristinbat. Pemikiran konsep maslahah al Ghazali ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam dengan menempatkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang batas usia perkawinan. Apakah batasan usia perkawinan ini sudah sesuai dengan konsep maslahah yang dijelaskan oleh al Ghazali. Oleh karena itu penulis akan menganalisa lebih jauh UU Nomor 16 Tahun 2019 dengan menggunakan konsep maslahah mursalah al Ghazali.

METODE PENELITIAN

Penilitian ini merupakan penelitian pustaka atau libarary research, maksdunya adalah sumber data yang diperoleh penulis melalui sumber kepustakaan (Moleong 2008). Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Penulis akan mencoba menganalisa pertimbangan maslahah yang dijadikan dasar perubahan aturan batas minimal perkawinan. Dari kesimpulan yang telah didapat kemudian di analisa apakah benar yang menjadi landasan hukum adalah konsep maslahah al-Ghazali. Langkah-langkah yang penulis lakukan, pertama pengumpulan data, pengorganisasian data, analisis data, dan interpretasi atau temuan dari hasil analisis. Sumber data primer yang penulis gunakan berupa UU Nomor 16 tahun 2019 pasal 1 ayat 1 tentang perubahan pada pasal 7 tentang batas usia perkawinan. Kedua sumber data sekunder sebagai penunjang yakni Kitab al Mustasyfa karya al Ghazali, Kaidah-kaidah fikih karya A. Dzajuli, dan beberapa jurnal, karya ilmiah yang memiliki korelasi dengan pembahasan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Definisi Maslahah Dan Landasan Hukum

Maslahah Mursalah merupakan memiliki satu kesatuan arti. Ditinjau dari konteks harfiyah, Maslahah mursalah dibangun dari dua kata bentuk masdar dari maslahah dan mursalah. Maslahah merupakan bentuk dari kata ­so-la-ha dimana maslahah diartikan sebagai perkara yang mendatangkan kebaikan. Sementara itu, pada kalimat mursalah dibentuk dari kata ­ar-sa-la yang merupakan kata singular bermakna terlepas atau terbebas. Konsep maslahah mursalah tersebut merujuk pada tindakan serta behavior yang diambil demi kemaslahatan umum dimana konsep tersebut tidak dijelaskan secara definitive dalam nash (Khalaf 2004). Maslahah mursalah adalah prinsip yang memungkinkan hukum Islam tetap relevan dengan perubahan zaman dan kondisi sosial.

 Dalam kitab al-Mustasyfa al-Ghazali mendefinisikan maslahah sebagai berikut:

المصلحة ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار ن ص معين

“maslahah merupakan sesutau yang tidak ada dalil nash yang membatalkanya dan tidak ada dalil tertentu yang menyinggungnya” (al-Ghazali t.t).

Suatu kemaslahatan haruslah sejalan dengan syariat meski bertentangan dengan maudhu annas. Pandangan al-Ghazali ini didasari karena kemaslahatan manusia itu tidak selamanya didasarkan pada kehendak syara’. Maka kesimpulanya adalah yang membentuk kemaslahatan adalah maudhu’ as-syar’i bukan maudhu’ annas (Hidayatullah 2012).

Landasan hukum yang membentuk konsep maslahah tidak secara eksplisit ditemukan dalam dalil dalil nash. Namun disisi lain banyak yang perkara yang memiki substansi yang menjelaskan konsep maslahah. Adapun landasan hukum yang mendasari diperbolehkannya menggunakan maslahah sebagai salah satu model istinbat hukum terdapat dalam surat Al-Anbiya ayat 107 berikut:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan kami mengutusmu, hanya untuk mejadi rahmat bagi seluruh alam.”.

Kemudian yang menjadi landasan maslahah mursalah juga terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah No. 2340 Ad-Daraquthni no. 4540 dalam kitab Al-Arbain An-Nawawi.

قَالَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ..

            Bahwa Rasulallah SAW bersabda tidak ada mudharat dan tidak boleh mendatangkan mudharat”(an-Nawawi t.t).

 

Konsep Maslahah al Ghazali

Pada corak pemikiran Imam Ghazali dalam kitab Al-Mushtafa ‘Ilm al Ushul dipapaparkan bahwa maslahah mursalah harus berkorelasi dengan tujuan syariah serta harus sesuai dengan subtansi kaidah fiqh yang paling universal yang dijadikan pijakan kaidah fikih lainya yaitu dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (Bakar t.t). Hal tersebut membuat pemahaman yang berbeda (mafhum mukholafah) dibandingakan dengan paradigma ulama lainya.

Al-Ghazali mengklasifikasikan maslahah menjadi tiga kategori utama: Dharuriyyat (kebutuhan mendasar): Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maslahah ini sangat esensial karena tanpa pemenuhannya, keberlangsungan hidup manusia akan terancam. Hajiyyat (kebutuhan pelengkap) (Munif 2002), Kemaslahatan ini tidak sekrusial dharuriyyat, namun tetap diperlukan untuk mengurangi kesulitan dan mempermudah kehidupan. Tahsiniyyat (kebutuhan penyempurna): Kemaslahatan ini lebih menekankan pada aspek keindahan, moralitas, dan etika yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup. Al-Ghazali mengusulkan bahwa maslahah mursalah dapat dipakai dalam ijtihad (upaya penafsiran hukum Islam) untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang tidak diatur dalam nash. Sebagai contoh, prinsip maslahah mursalah bisa digunakan untuk menetapkan hukum-hukum baru dalam bidang kedokteran, teknologi, dan ekonomi yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks-teks klasik Islam (Hidayatullah 2012).

Al-Ghazali mengusulkan bahwa maslahah mursalah dapat dipakai dalam ijtihad (upaya penafsiran hukum Islam) untuk mengatasi masalah-masalah kontemporer yang tidak diatur dalam nash. Sebagai contoh, prinsip maslahah mursalah bisa digunakan untuk menetapkan hukum-hukum baru dalam bidang kedokteran, teknologi, dan ekonomi yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks-teks klasik Islam (Hidayatullah 2012).

Kemudian ada tiga syarat yang dikemukakan al Ghazali agar bisa dianggap sebagai maslahah mursalah. Pertama, maslahah itu harus bersifat qath’i. kedua, harus bersifat maslahah yang ‘ammah. Ketiga, tidak ada dalil alQur’am dan Hadis yang bertentangan dengan maslahah tersebut (Rohayana 2004).

Al Ghazali juga menekankan bahwa jika dalam memahami konsep maslahah dengan tetap pada pemeliharaan syara’, maka tidak ada jalan bagi kita untuk berselisih. Bahkan menurut al Ghazali kita wajib untuk meyakini bahwa hal itu merupakan hujjah agama (al-Ghazali t.t).

Dilihat dari konsep diatas dapat disimpulkan bahwa pertama, pandangan paradigma pemikiran al-Ghazali mengemukakan bahwa konsep yang dikemukakan maslahah mursalah yaitu Tidak boleh bertentangan dengan nash, perlu diperhatikan bahwa maslahah tersebut harus selaras dengan teks Al-Quran dan Hadis yang telah ada. Pandangan yang kedua, pemikiran Al-Ghazali mengemukan bahwa maslahah mursalah merupakan dar’ul mafasid wa ‘ala jalbil mashalih. Pandang yang ketiga yaitu konsep maslahah mempunyai tujuan yang selaras dengan konsep maqasid as-syariah. Yang dimaksud dengan konsep tersebut adalah hifdzu din, hifdzu nafs, hifdzu aql, hifdzu nasl, hifdzu maal. Maka menurut al-Ghazali  konsep maslahah harus mempunyai esksitensi lima penjagaan tersebut (Risdianto 2021).

Kedudukan UU di Indonesia

Undang-undang dalam sistem hukum di Indonesia memiliki peranan yang sangat sentral dalam sistem hukum. Hal ini bisa dilihat dari beberapa poin penting tentang kedudukan UU dalan sistem hukum di Indonesia. Pertama, UU merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia. Dalam hal ini UU memiliki kekuatan untuk mengatur, mengatur ulang atau mencabut peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatanya. Kedua, UU berada pada puncak hierarki tertinggi. Ketiga, landasan pembentukan. UU disusun sesuai dengan regulasi yang diatur dalam undang-undang Negara republic Indonesia Tahun 1945 atau konstitusi, serta berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Keempat, dari segi sifatnya UU memiliki kekuatan yang mengikat dan harus dipatuhi oleh semua warga negara dan pihak yang berada di wilayah hukum Indonesia. Kelima, dalam proses pembentukannya, UU melalui proses legislasi yang melibatkan DPR selaku Lembaga yang berwenang untuk Menyusun dan mengesahkan UU, Bersama presiden yang memiliki kewenangan untuk mengesahkan UU setelah melewatu proses legislasi (Rahmawati 2020).

Maslahah Mursalah al Ghazali Sebagai Landasan Hukum UU No 16 Tahun 2019 Tentang Batas Usia Pernikahan

Undang undang Nomor 16 Tahun 2019 merupakan perubahan dari UU yang sudah dicetuskan sebelumnya berupa No. I Tahun 1974. Dalam peraturan sebelumnya bahwa usia seseorang boleh melangsungkan perkawinan jika laki-laki telah berusia Sembilan belas tahun dan Wanita adalah enambelas tahun.  Dengan diberlakukannya UU ini, maka pemerintah akan merancang kebijakan nasional termasuk menghentikan pernikahan di usia muda. Perubahan ini melibatkan kebijakan pemerintah yang khusus ditujukan bagi perempuan, yang sebelumnya diperbolehkan untuk menikah pada usia 16 tahun.

Salah satu tujuan dari diberlakukannya UU No. 16 Tahun 2019, khususnya dalam Pasal 7 adalah untuk mengurangi batasan usia perkawinan anak, terutama usia calon pengantin wanita. Sebelumnya, dalam UU No. 1 Tahun 1974, batasan usia perkawinan untuk wanita adalah 16 tahun dan laki-laki adalah 19 tahun. Kemudian dalam pasal 7 disamaratakan menjadi 19 tahun. Perubahan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak anak dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga Usia 19 tahun dipandang sebagai usia yang memadai secara mental dan fisik bagi kedua belah pihak untuk menikah. Dengan harapan dapat meningkatkan keberhasilan perkawinan dan mengurangi tingkat perceraian.

Adanya perubahaan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial telah membawa perubahan fundamental. Seperti salah satunya aspek keluarga, terutama institusi perkawinan. Pola pikir masyarakat industrial perkawinan dibawah umur menjadi hal yang lumrah. Sedangkan menurut masyarakat agraris perkawinan dibawah umur adalah hal yang harus dihindari (Yaswirman 2004).

Islam sendiri memang tidak mengatur secara jelas tentang ketentuan batas usia perkawinan.  Meski demikian dalam literatur fikih klasik telah dijelaskan bahwa yang menjadi landasan kesiapan perkawinan adalah sudah baligh. Dalam menentukan kriteria batasan baligh para pakar fikih mengalami perbedaan pendapat. Menurut Abu Hanifah, dari segi usia yakni laki-laki telah berumur delapan belas tahun dan Wanita tujuh belas tahun. Sedangkan menurut Imam Syafi’I usia laki-laki dan wanita dikatakan baligh jika telah berusia limabelas  tahun. Adapun tanda-tanda baligh dalam kitab fikih klasik adalah, bagi laki-laki telah mengalami mimpi basah, dan bagi Wanita sudah mengalami haid (Soeroso 1986). Dari keterangan tersebut maka bisa disimpulkan bahwa Allah tidak menentukan kapan usia yang ideal bagi Wanita untuk menikah. Penentuan batas perkawinan bukan menjadi urusan Allah. Perkara seperti ini menjadi urusan hambanya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Penentuan batas usia kawin dan larangan menikah dibawah umur merupakan bentuk interpretasi dari makna baligh.

Jadi, perubahan batasan umur dalam perkawinan yang dilakukan pemerintah ini merupakan masalah ijtihadiyyah. Bentuk perubahan ini merupakan salah satu wujud kepedulian negara untuk menjamin warganya bisa menjalin keluarga yang sakinnah mawaddah warahmah. Yang menjadi landasan kemaslahatan perubahan UU tentang batasan perkawinan  ini tertuang  dalam pasal 15 ayat 1, yaitu Untuk menjelaskan adanya kemaslahatan. Jadi, tendensi dari perubahan yang dilakukan pemerintah adalah demi kemaslahatan rakyatnya. Hal ini senada dengan kaidah:

تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

“keputusan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan unsur kemaslahatan”(Al-Suyuti 1983).

Aturan ini merupakan wujud kepedulian penguasa terhadap kemaslahatan rakyat. Yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah tentang perubahan batasan usia perkawinan adalah unsur kemaslahatan.  Menurut hemat penulis, yang menjadi dasar  maslahat   tentang perubahan UU ini adalah konsep maslahah mursalah al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari kesesuaian konsep maslahah al Ghazali dengan beberapa pertimbangan yang dikemukakan pemerintah. Berikut bukti konsep maslahah yang digaungkan al Ghazali menjadi Landasan Hukum UU nomor 16 tahun 2019:

  1. Selaras dengan Nash

Meski tidak ada Batasan yang secara eksplisit dijelasakn dalam fikih klasik, namun al quran telah memberikan gambaran bagi orang yang memiliki kesiapan dan telah dianggap mampu dalam firmanNya Surah An-Nuur ayat 32:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“dan nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kalian dan orang orang yang layak dari hamba sahayamu yang laki dan perempuan. Jika mereka termasuk fuqara, maka Allah akan menyukupi mereka ddengan anugrahNya. Dan Allah maha maha Luas dan Maha mengetahui.”

Yang dimaksud dengan kata “layak kawin” menurut Qurais Syihab dalam tafsir al-Misbahnya adalah telah mampu secara psychical dan spiritual dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam keluarga (Shihab 2005).

Kemudian didalam hadits yang diriwatkan dari Abdullah ibn mas’ud RA, Rasulallah SAW bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وجاءٌ

“Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu memberi nafkah maka hendaklah menikah. Sebab menikah bisa menundukan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaknya berpuasa. Sebab puasa bisa menjadi tameng untuknya”. (H.R. Bukhari & Muslim).

Dari kedua landasan tersebut bisa dipahami bahwa nash telah memberikan gambaran terkait kriteria kelayakan seseorang yang akan melangsungkan perkawinan.

  1. Menolak mafsadah dan menarik maslahah

Konsep maslahah al Ghazali yang kedua menjadi landasan dalam perubahan batas perkawinan di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dengan pertimbangan pemerintah untuk bisa menekan laju kelahiran anak dan perkawinan usia dini. Selain itu, perkawinan yang terjadi pada anak yang belum dianggap dewasa, bisa memberi dampak kurang baik serta menjadikan hak-hak anak tidak terpenuhi.   Sementara bentuk maslahah yang bisa didapatkan tidak hanya dirasakan bagi kedua calon pasangan saja, namun negara Indonesia juga mearasakan dampak kemaslahatan.

Dengan adanya peraturan yang baru  ini diharap bisa menekan tingginya angka pernikahan usia dini serta mengurangi tingkat kelahiran yang bisa berdampak pada tingkat pertumbuhan penduduk. Selain itu, hal ini juga bisa mengurangi tingginya angka pengangguran di Indonesia. Pengangguran yang terjadi di Indonesia disebabkan banyaknya kasus pernikahan yang tanpa adanya pertimbangan yang matang, baik dari sisi ekonomi, emosional dan kesejahteraan. Maslahah mursalah pada Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 dikategorikan sebagai maslahah al-dharuriyah yang memiliki kandungan pada kebutuhan mendasar umat manusia fi al- ddunya wa al-akhirah. Hal ini mencakup perlindungan kelestarian addin, perlindungan nafs, ‘aql, nasldan mal. Maslahah mursalah adalah tindakan yang dapat mendorong kebaikan, memberikan manfaat, dan menghindari kerusakan bagi manusia. Agar sesuatu dapat dikategorikan sebagai maslahah mursalah, harus memenuhi beberapa syarat: kemaslahatan tersebut harus termasuk dalam kebutuhan primer (daruriyah), bersifat pasti dan tidak berdasarkan dugaan, bersifat umum dan untuk kepentingan kolektif, serta sesuai dengan tujuan hukum Islam.

  1. Selaras dengan maqasid Syariah

Dengan adanya aturan tentang batas usia perkawinan ini tentunya selaras dengan maqasid Syariah. Pertama, hifdzu addin atau menjaga agama. Perubahan batas usia menjadi Sembilan belas tahun untuk laki-laki dan wanita adalah salah satu wujud untuk menyiapkan calon pasangan pada kematangan spiritual.  Dengan pengetahuan agama yang kuat bisa menjadi bekal untuk tidak bermain-main dalam melangsungkan perkawinan nantinya. Jika nantinya memiliki anak kedua pasangan juga bisa menamkan nilai agama pada anaknya dengan pengetahuan agama yang mereka ketahui.

Kedua, hifdzu annafs atau menjaga jiwa. Dengan batasan sembilanbelas tahun ini, maka mendatangkan kemaslahatan bagi calon suami istri dari segi kesiapan fisik. Ketika kedua pasangan telah mencapai awal kedewasaan maka organ seks telah dianggap matang untuk melangsungkan perkawinan. Sebab wanita yang belum dianggap siap secara fisik, sangat beresiko tinggi pada kematian saat hamil atau melahirkan.

Ketiga, hifdzu al ‘qal atau menjaga akal. Kesiapan mental kedua pasangan sangat menentukan kedamaian dalam menjalin keluarga nantinya. Karena selama menjalin hubungan pernikahan nantinya akan banyak permasalahan yang muncul, baik berupa faktor internal maupun eksternal. Tentunya dengan kematangan mental, menjadikan kedua pasangan tetap sakinnah.

Keempat, hifdzu annasl atau menjaga keturunan.  Usia 19 tahun kedua pasangan menjadikan mereka siap secara sosial dan emosional.  Pasangan yang menikah dibawah usia dewasa belum bisa mengendalikan keinginan pribadi masing-masing. Mereka masih mementingkan keinginan pribadinya. Kemudian dalam bermu’asyarah tentunnya sangat susah untuk mencapai tahap al ma’ruf.

Kelima, hifdzu al mal, atau menjaga harta.  Dengan umur kedewasaan yang matang, kedua pasangan nantinya harus bisa memanajemen keuangan untuk kebutuhan yang dibutuhkan keluarga. Oleh karena itu, kedua pasangan bisa mengatur ekonomi keluarga dan tidak sampai jatuh kepada masyaqot fi al mal.

KESIMPULAN

Konsep maslahah mursalah menurut Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga kemaslahatan umum dan menghindari kerugian bagi masyarakat atau dar’ul mafasid wa ‘ala jalbil mashalih Al-Ghazali, seorang ulama besar dalam Islam, menyatakan bahwa hukum Islam bertujuan untuk melindungi lima aspek utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maslahah mursalah (kemaslahatan umum) digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan hukum yang tidak secara eksplisit diatur dalam teks syariah tetapi diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Perubahan UU yang terbaru telah menetapkan batas usia minimum pernikahan untuk laki-laki dan perempuan adalah Sembilan belas tahun. Tujuan dari penetapan ini adalah melindungi hak-hak anak, kesehatan reproduksi, serta kualitas hidup pasangan suami istri dan keturunannya. Hal ini sejalan dengan konsep maslahah mursalah yang berfokus pada pemeliharaan kemaslahatan umum, termasuk perlindungan keturunan dan jiwa.

Menurut Al-Ghazali, kebijakan ini dianggap sebagai upaya untuk mencapai kemaslahatan dalam beberapa aspek: perlindungan agama (Hifz al-Din): salah satu wujud untuk menyiapkan calon pasangan pada kematangan spiritual. perlindungan jiwa (hifz al-Nafs): maka

mendatangkan kemaslahatan bagi calon suami istri dari segi kesiapan fisik perlindungan akal (hifz al-Aql): Kesiapan mental kedua pasangan. Perlindungan Keturunan (hifz al-Nasl): Usia 19 tahun kedua pasangan menjadikan mereka siap secara sosial dan emosional. perlindungan harta (hifz al-Mal): Dengan umur kedewasaan yang matang, kedua pasangan nantinya harus bisa memanajemen keuangan untuk kebutuhan yang dibutuhkan keluarga

Dengan demikian, UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan batas usia perkawinan dapat dianggap sebagai penerapan konsep maslahah mursalah Al Ghazali dalam kerangka hukum yang lebih luas. Ini menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan kontemporer sambil menjaga kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan-tujuan syariah.

Artikel ini telah dibaca 4 kali

Baca Lainnya

Mitsaqan Ghalidzan: Ketika Akad Nikah Disetarakan Dengan Amanah Para Nabi

29 Juli 2025 - 07:58 WIB

Penghulu Juga Manusia Biasa (Catatan Haru dari Momen Sakral Sang Penghulu)

26 Juli 2025 - 11:08 WIB

Nikah Siri dan Dilema Hukum: Peran Penghulu dalam Penegakan Hak Perempuan dan Anak

24 Juli 2025 - 14:58 WIB

Pentingnya Peranan Orang Tua Dalam Mempersiapkan Generasi Berkualitas

24 Juli 2025 - 11:10 WIB

Menikah Bukan Sekadar Akad, Ini Persiapan Penting Menurut Fiqih Munakahat

23 Juli 2025 - 14:08 WIB

Praktik Calo Pernikahan: Cepat, Tapi Berisiko Besar

22 Juli 2025 - 11:09 WIB

Trending di Artikel