BUDAYA PENYELESAIAN SENGKETA KELUARGA DILUAR PENGADILAN
Disusun oleh : Yayan Nuryana
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah “BUDAYA PENYELESAIAN SENGKETA KELUARGA DILUAR PENGADILAN” ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tak lupa kami mengucapkan beribu terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangsih baik pikiran maupun materinya. Terkhusus kepada Dr. H. Ramdani Wahyu, M.Si, selaku dosen pengampu mata kuliah Penyelesaian Sengketa Keluarga di Indonesia, yang telah membimbing dalam pembelajaran.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat menjadi sarana menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Purwakarta, 19 Juni2024
Penyusun
Pernikahan merupakan salah satu persoalan yang sangat detail diatur oleh syari’at. Syariat agama sangat menganjurkannya, karena dapat menjauhkan dari berbagai kerusakan, juga dapat mendatangkan kemaslahatan untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Tetapi sebelum sampai ketahap matang dalam menghadapi pernikahan ini, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan nasihat agar memilih pasangan hidup yang sesuai dengan syari’at Islam, sebagaimana yang termuat dalam Al -Qur’an dan Hadist untuk mencapai keluarga sakinah.
Keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah pastinya menjadi dambaan setiap orang yang berumah tangga. Keluarga sakinah dapat diwujudkan, jika setiap unsur keluarga, terutama suami dan isteri, memahami tujuan pernikahan dan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Suami dan istri saling cinta mencintai, saling menghormati dan saling membantu lahir maupun batin. Mereka saling memahami dan menghargai kedudukan dan fungsi masing-masing. Jika ini semua berjalan baik, maka keluarga bahagia yang tenteram, penuh cinta dan kasih sayang, akan secara otomatis terbentuk dalam keluarga mereka.
Sebuah ikatan pernikahan, tidak selalu berjalan dengan mulus, aman dan tentram. Tentu akan ada saat dimana munculnya percikan pertengkaran, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang luar biasa. Bagi keluarga yang dilatarbelakangi dengan sikap penuh kesabaran dan ketabahan, tentunya percikan pertengkaran ini dapat diselesaikan dengan cara bijaksana oleh pasangan suami isteri.
Akibat pertengkaran yang terus menerus (shiqaq), akibat tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri, kekerasan dalam rumah tangga telah mengakibatkan angka perceraian meningkat. Jalur litigasi tidak dapat memberikan solusi, sebab setiap perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama seringkali berakhir dengan perceraian.
Islam tidak menganjurkan perceraian. Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu Wata’ala adalah perceraian. Oleh karena itu perceraian adalah jalan terakhir bila tidak ada jalan lain lagi untuk menyelesaikan perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri.
Pertengkaran dapat dijadikan sebagai suatu ikhtibar dan pengalaman yang pahit untuk dijadikan suri tauladan agar rumah tangga menjadi matang, yang tahan terpaan hujan badai, panas dan lainnya. Perceraian hanya dapat dilakukan sebagai jalan terakhir jika suatu bahtera rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Berdasarkan latar belakang pemikiran inilah, penulis ini menelaah dan meneliti lebih mendalam lagi tentang budaya penyelesaian sengketa keluarga di luar pengadilan, menurut hukum Islam.
Menurut hemat penulis ini penting untuk dikaji dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan normatif, sehingga cukup jelas, akurat dan faktual bahwa penyelesaian sengketa suami isteri di luar litigasi apakah jalan pilihan paling tepat untuk menyelesaikan perselisihan suami isteri.
Berdasarkan latar belakang di atas dan untuk lebih terarahnya pembahasan dalam makalah ini maka yang menjadi masalah pokok adalah sebagai berikut:
- Mengapa terjadi sengketa (perselisihan) suami isteri (Rumah Tangga) dalam kehidupan pernikahan ?
- Bagaimana penyelesaian perselisihan keluarga (suami isteri) dalam perkawinan di luar Pengadilan menurut hukum Islam (syari’ah) ?
- Bagaimana Peran BP4 dalam melakukan mediasi persengketaan diluar pengadilan ?
Menurut Hammudah Abd Al-Ati sebagaimana dikutip oleh Prof. DR. Ramayulis dkk, defenisi keluarga dilihat secara operasional, “suatu struktur yang bersifat khusus satu sama lain dalam keluarga itu mempunyai ikatan apakah lewat hubungan darah atau pernikahan”. Menurut defenisi di atas, keluarga diikat oleh dua hubungan, yaitu hubungan darah dan hubungan perkawinan. Bentuk keluarga yang paling sederhana adalah keluarga inti yang terdiri atas suami isteri dan anak-anak yang biasanya hidup bersama dalam suatu tempat. Sedangkan rumah tangga dapat disebut sebagai tempat dimana keluarga itu berkumpul dan tempat melaksanakan hak dan kewajiban dan mendidik anak. Tempat dimana suami dan isteri dan anak-anak saling memberi dan menerima kasih sayang, tempat mendidik anak dalam pergaulan hidup berkeluarga.
Kehidupan rumah tangga melalui pernikahan merupakan salah satu lembaran hidup yang akan dilalui oleh setiap manusia. Saat itulah kedewasaan pasangan suami istri sangat dituntut demi mencapai kesuksesan dalam membina bahtera rumah tangga[1]. Tidak selamanya keharmonisan akan selalu menjadi warna yang menghiasi hari-hari yang dilalui oleh pasangan suami istri. Kadang konflik bisa saja terjadi bahkan bisa berbuntut kepada perceraian. Tergantung bagaimana pasangan suami istri itu bisa menyikapi dan mengedapankan akal sehat demi terjaganya keutuhan sebuah rumah tangga yang sakinah.
Tetapi tidak dipungkiri dalam menjalani bahtera rumah tangga tidak pernah berjalan dengan mulus, banyak pernik-pernik kehidupan yang merintangi dan menjadi batu, duri penyebab terjadinya perselisihan. Banyak rumah tangga dalam kehidupan suami istri yang tidak dapat melewati masa-masa sulit tersebut sehingga menyebabkan keretakan, sengketa, perselisihan dan terkadang diakhiri dengan suatu perseraian. Banyak sebenarnya penyebab pertengkaran, perselisihan dan keretakan rumah tangga akibat perekonomian yang tidak stabil.
Konflik suami istri dalam suatu keluarga membawa banyak perbincangan yang sangat luas dan urgen. Dikatakan luas, karena faktor-faktor penyebab sangat beraneka ragam dan banyak cabangnya. Dikatakan urgen karena dapat membuka mata dan pandangan akan bahaya- bahaya yang ditimbulkannya[2].
Disamping faktor ekonomi sebagai andil paling besar sebagai penyebab sengketa suami isteri, banyak faktor-faktor lain yang ikut melatarbelakangi dari penyebab pertikaian suami isteri sepanjang masa. Antara lain adalah kesalahan dalam memilih pasangan, ketiadaan kufu’ (kesetaraan) dalam sepasang suami isteri, perbedaan tingkat usia (beda umur), suami yang tidak bertanggung jawab, isteri atau suami selingkuh dan lain-lain. Hikmah dari pernikahan adalah membangun sebuah keluarga dan menciptakan kebahagian dunia dan akhirat telah menjadi kacau, bubar dan berantarakan. Pernikahan tidak lagi menjadi suatu kebahagian tetapi kehidupan keluarga menjadi suatu yang membuyarkan kebahagian dan keadaan telah menjadi sedemikian parah sampai pada batas yang sulit untuk dipertahankan dalam suatu ikatan perkawinan. Oleh karena itu memisahkan suami isteri dalam rumah tangga perlu ditemukan jalan atau media suasana ini tidak berlarut-larut dan berkepanjangan, jalan penyelesaian ini harus ada untuk mendamai kedua belah pihak. Jika tidak sangat membahayakan semua pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut. Dan bila penyelesaian secara damai tidak dapat dijalankan dengan sebaik mungkin, jalan terakhir menurut Islam adalah mensyariatkan thalak atau fasakh.
Islam tidak dapat memaksakan kondisi sengketa dan perselisihan terus berlanjut dan berkepanjangan. Cerai melalui thalak atau fasakh adalah jalan halal tetapi paling dibenci Allah Subhanahu Wata’ala yang harus ditempuh sebagai jalan akhir jika perdamaian tidak diketemukan. Inilah adalah obat yang paling pahit dan paling keras, jiwa-jiwa menjadi sedih, rumah tangga terpecah dan kadang-kadang konsekuensi akhir adalah anak ikut menerima akibat dari perceraian antara kedua orang tua mereka.
Oleh karena itu perceraian sedapat mungkin harus dihindari dengan menyikapi sengketa suami isteri dengan jalan yang bijaksana. Salah satu jalan adalah mencari pihak ketiga yang masih ada hubungan keluarga secara bersama-sama antara pihak suami dan pihak istri untuk mencari solusi terbaik agar rumah tangga dapat diselamatkan. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa ayat 35, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami isteri) tersebut. Dan tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian).
Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam AI-Qur’an surah an-Nisaa ayat 35, Allah SWT, telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku mediator dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut.
Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa secara mediasi, mumi ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
Selama ini, pola penasihatan keluarga bermasalah di Indonesia ada dua macam, yaitu penasihatan di luar pengadilan dan penasihatan di pengadilan. Penasihatan di luar pengadilan dilakukan oleh perorangan, biasanya seorang tokoh masyarakat, tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan, atau oleh lembaga penasihatan, seperti BP4 dan lembaga penasihatan atau konsultasi keluarga lainnya. Sedangkan penasihatan di pengadilan dilakukan oleh majelis hakim, pada setiap kali persidangan, terutama pada sidang pertama yang harus dihadiri oleh suami dan isteri secara pribadi, tidak boleh diwakilkan.
Pola penasihatan seperti disebutkan di atas mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Di antara kelebihannya adalah bahwa penasihatan di luar pengadilan dapat dilakukan lebih informal dan tidak dibatasi ketentuan-ketentuan hukum acara, sehingga permasalahan lebih banyak dapat digali tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Dengan demikian, maka pemecahannyapun dapat ditentukan dengan pertimbangan yang matang, sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun demikian, penasihatan di luar pengadilan sangat tergantung kepada kadar kesulitan permasalahan dan tergantung kepada tingkat “kewibawaan” para penasihat, baik perorangan maupun lembaga. Hasilnyapun tidak mempunyai kekuatan hukum, apalagi jika permasalahan tidak dapat dipecahkan dan suami-isteri tidak dapat didamaikan. Konsep inilah yang dikenal dengan masuknya pihak ketiga untuk mendamaikan kedua belah pihak yang berselisih. Pihak ketiga ini dikenal biasanya dengan nama mediator.
Sesuai dengan maknanya, mediasi berarti menengahi. Seorang mediator tidaklah berperan sebagai judge yang memaksakan pikiran keadilannya, tidak pula mengambil kesimpulan yang mengikat seperti arbitrer tetapi Iebih memberdayakan para pihak untuk menentukan solusi apa yang mereka inginkan. Mediator mendorong dan memfasilitasi dialog, membantu para pihak mengklarifikasi kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka, menyiapkan panduan, membantu para pihak dalam meluruskan perbedaan-perbedaan pandangan dan bekerja untuk suatu yang dapat diterima para pihak dalam penyelesaian yang mengikat. Jika sudah ada kecocokan di antara para pihak yang bersengketa lalu dibuatkanlah suatu memorandum yang memuat kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai.[3]
Sementara itu, penasihatan di pengadilan sangat dibatasi waktu, tempat dan ketentuan- ketentuan beracara, sehingga permasalahan tidak dapat digali sebanyak permasalahan yang dilakukan pada penasihatan di luar pengadilan. Demikian pula pemecahannyapun. Pendek kata, penasihatan di depan sidang pengadilan lebih banyak untuk memenuhi ketentuan formil dan sangat sulit dapat dikembangkan sebagaimana penasihatan di luar pengadilan. Apa lagi pasangan suami isteri yang datang ke pengadilan, pada umumnya, adalah pasangan yang membawa permasalahan keluarga yang sangat berat, sudah patah arang. Memang demikian, karena sidang pengadilan pada dasarnya bukanlah merupakan lembaga penasihatan, namun ia adalah lembaga pelaku kekuasaan kehakiman, yang dalam kegiatannya berfungsi juga untuk melakukan penasihatan sebelum memeriksa Iebih jauh perkara yang diajukan dan memutus perkara jika tidak ada kesepakatan damai di antara para pihak. Hasil penasihatan berupa kesepakatan untuk damai atau tidak ada kesepakatan apa-apa dapat langsung dijadikan dasar oleh majelis hakim untuk melakukan proses hukum selanjutnya: pembuatan akte perdamaian atau pemeriksaan perkara sesuai permohonan atau gugatan.
Di dalam pengadilanpun dikenal juga dengan lembaga mediasi, yaitu proses pemeriksaan sebelum dilaksanakan sidang gugatan perceraian di persidangan Pengadilan Agama. Lembaga ini dikenal dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor 1 Tahun 2008, merupakan penegasan ulang terhadap peraturan sebelumnya yaitu PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Lahirnya acara mediasi melalui PERMA Nomor 1 Tahun 2008 (kemudian akan disebut PERMA), merupakan penegasan ulang terhadap perma sebelumnya yaitu Nomor 2 Tahun 2003. Dilatarbelakangi dengan menumpuknya perkara di lingkungan peradilan terutama dalam perkara kasasi, mediasi dianggap instrument efektif dalam proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan[4].
Penasihatan di luar pengadilan, merujuk kepada Q.S. An-Nisa’ 35, yang artinya, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Konsep hakam disini dapatlah disamakan dengan mediator sebagai pendamai bagi perselisihan suami isteri. Hakam mendudukan peranan penting dalam islam sebagai juru damai yang jumlahnya berdasarkan ayat tersebut di atas minimal 2 (dua) orang. Dan sebaiknya biasa sepanjang perjalanan kedua orang hakam ini dapat diberikan pula kesempatan untuk memilih (satu) orang lagi sebagai hakam, sehingga hakam (mediator) berjumlah 3 (tiga) orang sebagaimana kebiasaan dalam praktek.
Tidak semua orang dapat dijadikan hakam (mediator), untuk menduduki posisi ini Islam mengajurkan agar untuk memilih orang yang benar-benar dapat ditunjukan sebagai hakam adalah orang yang benar-benar bijak mempunyai latar belakang kesholehannya tidak diragukan oleh semua orang[5]. Yaitu mempunyai sifat adil, juru, memiliki pengetahuan dan mempunyai hubungan kekerabatan (family) dan yang paling penting adalah dapat menjaga rahasia. Dengan sifat-sifat seperti ini tentunya penyelesaian secara damai sengketa suami isteri menemukan jalannya terbaik yang dapat diterima oleh semua pihak.
Pelaksanaan penyelesaian oleh hakam (mediator) bukanlah bersifat kewenangan sebagaimana dijalankan oleh Hakim Pengadilan, tetapi lebih bersifat kewajiban yang hasil akhir hanya bersifat anjuran atau nasehat. Suami atau isteri dalam menyikapi nasehat atau anjuran hakam, dapat menerima atau menolak. Bila menerima nasehat dari hakam maka selesailah sengketa suami isteri, bila menolak tentunya permasalahan sengketa rumah tangga menjadi panjang dan berbelit-belit yang putusan akhimya akan merugikan dan menjadi pil pahit bagi kedua belah pihak.
Bila ditinjau dari sudut pandang waktu dan hasil yang dicapai dengan menempuh jalan mediasi tentunya banyak manfaat bila dibandingkan dengan jalur litigasi. Hakam dalam melakukan pemeriksaan sengketa rumah tangga lebih menitik beratkan pada hubungan kekeluargaan, tanpa melalaui proses formal yang berbelit-belit. Waktu yang ditempuh relatif singkat. Diperiksa dan ditengahi oleh hakam dari keluarga sendiri atau famili baik dari pihak suami maupun dari pihak isteri yang mengetahui seluk belum dan latar belakang keluarga. Oleh karena hakam dan family yang memiliki kemampuan dan wibawa serta sangat dihormati, tentunya segala keputusan dan nasihat untuk penyelesaian sengketa rumah tangga selalu diterima dengan lapang dada oleh semua pihak baik dari suami dan keluarga suami maupun isteri dan keluarga isteri. Segala rahasia rumah tangga yang disengketakan tetap menjadi rahasia dan tidak terbuka untuk umum dan paling terpenting segala aib keluarga atau rumah tangga yang bersengketa tetap terjaga dengan baik.
Oleh karena itu Allah menetapkan jalur hakam adalah jalan yang paling terbaik bila dibandingkan dengan jalur litigasi, sesuai dengan QS. An-Nisa’ ayat 35. Walaupun demikian hakam adalah fase kedua. Sedangkan fase pertama Menurut Kamil al-Hayali, Islam menyerahkan kebebasan penyelesaian untuk mencapai kata sepakat yang adil pada mereka berdua. Jika kedua jalan ini tidak menyelesaikan sengketa rumah tangga yang dihadapi oleh suami isteri, jalur terakhir adalah jalur litigasi, dimana putusannya bersifat mengikat.
Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Mediasi merupakan tata cara berdasarkan “itikad baik” dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan saran-saran melalui jalur yang bagaimana sengketa akan diselesaikan oleh mediator, karena mereka sendiri tidak mampu melakukannya. Melalui kebebasan ini dimungkinkan kepada mediator memberikan penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang bersengketa memperoleh manfaat yang saling menguntungkan.16)
Landasan Yuridis Mediasi di Pengadilan terdapat dalam Pasal 130 HIR, Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 115, Pasal 131 ayat (2), Pasal 143 ayat (1) dan (2) dan Pasal 144.
Landasan Yuridis Mediasi di luar pengadilan diatur dala KUHP Pasal 1851 yakni :
“Perdamaian adalah suatu persetujuan dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara”.
Pengaturan mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 10 ialah :
“Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli”.
Demi meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus menerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga atau keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.
Hal tersebut sangat terkait dengan apa yang sedang dilakukan oleh Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (selanjutnya disebut BP4), yaitu meningkatkan konsultasi perkawinan dan meningkatkan pelayanan terhadap keluarga yang bermasalah melalui kegiatan konseling, mediasi dan advokasi.
Perkara yang ditangani oleh PA dengan melakukan upaya Mediasi dalam proses perceraian dapat meminta bantuan kepada Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan yang sebagaimana di atur dalam Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban-kewajiban Pegawai Nikah Dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Perundang-undangan Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam menyatakan :
“Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah – pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat, agar kepada suami – isteri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”
Banyaknya para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama melakukan mediasi dalam proses perceraian tanpa mengetahui adanya keberadaan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), sehingga fungsi dari BP4 tersebut kurang efektif. Peran BP4 dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian sangat dibutuhkan bagi kedua belah pihak guna untuk menasehati serta membina para pihak agar mencapai rumah tangga yang rukun.
Banyaknya para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama melakukan mediasi dalam proses perceraian tanpa mengetahui adanya keberadaan Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), sehingga fungsi dari BP4 tersebut kurang efektif. Peran BP4 dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian sangat dibutuhkan bagi kedua belah pihak guna untuk menasehati serta membina para pihak agar mencapai rumah tangga yang rukun.
Uraian di atas demi untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam diperlukan bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus menerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Hal tersebut sangat terkait dengan apa yang sedang dilakukan oleh Badan Penasihatan, Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4), yaitu meningkatkan kualitas konsultasi perkawinan dan meningkatkan pelayanan terhadap keluarga yang bermasalah melalui kegiatan konseling, mediasi dan advokasi.
Meningkatnya jumlah perceraian yang terjadi, menurut data terakhir selama tahun 2021 terdapat 447.743 pasangan nikah yang telah bercerai. Meningkat 53,50% dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan meninjau hal tersebut sangat membutuhkan lembaga seperti BP4 ini yaitu guna untuk demi meningkatkan kualitas perkawinan diperlukannya bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus menerus dan konsisten. Meningkatkan konsultasi perkawinan dan meningkatkan pelayanan terhadap keluarga yang bermasalah melalui kegiatan konseling, mediasi dan advokasi.
Peran BP4 ini memberikan nasihat serta pembinaan baik kepada para pihak yang pra-nikah ataupun pasca nikah sehubungan saat ini kian hari kian marak yang menikah lalu bercerai, pemerintah dan agama sangat tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Maka BP4 dibentuk untuk membina yang belum menikah diberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan rumah tangga agar ketika berumah tangga nanti tidak terkejut dengan adanya permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga, dan pembinaan untuk pasca nikah ini apabila mereka datang kemudian konsultasi kepada BP4 karena memiliki masalah dalam rumah tangga maka BP4 berusaha untuk memberikan solusi agar tidak pergi ke Pengadilan Agama.
Proses Mediasi di BP4 sangatlah mudah untuk pasca nikah dengan hanya datang pada hari kerja ke BP4 setempat lalu mendaftarkan dirinya untuk konsultasi, jika memang pada hari itu mediator dari BP4 bersedia maka akan dilaksanakannya pada hari itu juga. Jika tidak bagi para pihak yang telah mendaftar menunggu panggilan dari BP4 untuk hadir, kegiatan ini biasanya dilakukan seminggu sekali sampai akhirnya para pihak mencapai kesepakatan. Proses pada pemanggilan kepada pihak yang mendaftar tidak membutuhkan waktu lebih dari satu minggu untuk menunggu. Dan bagi yang pra-nikah ditentukan waktu nya oleh KUA untuk mendapatkan bimbingan dari BP4, pendaftarannya pada saat mereka mendaftarkan untuk menikah. Hal ini wajib untuk para pra-nikah untuk mendapatkan pembinaan mengenai perkawinan dari BP4. Proses mediasi di BP4 untuk mendapatkan penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, apabila mediator di BP4 gagal kepada pasangan suami- istri tidak mencapai pada keputusan untuk berdamai, maka sesuai kesepakatan mereka akan memilih untuk beracara di Pengadilan Agama pada proses perceraian. BP4 akan mengeluarkan surat pernyataan kepada Pengadilan Agama bahwa para pihak sebelum melakukan sidang untuk perceraian para pihak sudah ke BP4 terlebih dahulu, dengan alasan mereka berbagai pernyataan bahwa mereka tidak dapat untuk berdamai lagi.
Berdasarkan hasil penelitian di Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di Kecamatan Sukajadi kota Bandung, yang dilaksanakan pada tahun 2015, oleh Hj. Sri Pursetyowati bahwa efektivitas lembaga non-litigasi ini atau BP4 dalam upaya mediasi pada proses perceraian sangatlah kurang efektif, dikarenakannya kurangnya sosialisasi atau penyuluhan kepada masyarakat hal ini mengakibatkan kurang ketahuannya masyarakat dengan keberadaannya BP4 ini, banyaknya masyarakat hanya mengetahui KUA saja yang sanggup membantu menyelesaikan masalah dalam rumah tangga, hingga mereka bukan datang ke BP4 melainkan ke KUA.
Faktor yang menjadikan tidak adanya sosialisasi atau penyuluhan ini karena tidak adanya agaran biaya untuk melaksanakan acara tersebut, BP4 yang bertempat di Kecamatan Sukajadi, Bandung dapat dikatakan tidak mencapai cita- cita dikarenakan tidak adanya anggaran, hal tersebut yang membuat BP4 kota Bandung menjadi menghambat untuk memaksimalkan lembaga non-litigasi ini. Bukan hanya untuk sosialisasi, para mediator yang memberikan nasihat serta bimbingan kepada para tamu yang datang ke BP4 juga tidak mendapatkan honor, hal tersebut juga menurunkan efektivitas BP4 di kota Bandung.
Meningkatnya jumlah perceraian yang terjadi di Kota Bandung menurut data terakhir yang disampaikan pengadilan agama kota Bandung, kisaran bulan Januari hingga Desember 2015, angka perceraian meningkat yaitu sekitar 6000 pasangan nikah yang telah bercerai. Dengan hal adanya tersebut sangat membutuhkan lembaga seperti BP4 ini yaitu guna untuk demi meningkatkan kualitas perkawinan diperlukannya bimbingan dan penasihatan perkawinan secara terus menerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Peran BP4 ini memberikan nasihat serta pembinaan baik kepada para pihak yang pra-nikah ataupun pasca nikah sehubungan saat ini kian hari kian marak yang menikah lalu bercerai, pemerintah dan agama sangat tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Maka BP4 dibentuk untuk membina yang belum menikah diberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan rumah tangga agar ketika berumah tangga nanti tidak terkejut dengan adanya permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga, dan pembinaan untuk pasca nikah ini apabila mereka datang kemudian konsultasi kepada BP4 karena memiliki masalah dalam rumah tangga maka BP4 berusaha untuk memberikan solusi agar tidak pergi ke Pengadilan Agama.
Proses mediasi di BP4 untuk mendapatkan penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, apabila mediator di BP4 gagal kepada pasangan suami- istri tidak mencapai pada keputusan untuk berdamai, maka sesuai kesepakatan mereka akan memilih untuk beracara di Pengadilan Agama pada proses perceraian. BP4 akan mengeluarkan surat pernyataan kepada Pengadilan Agama bahwa para pihak sebelum melakukan sidang untuk perceraian para pihak sudah ke BP4 terlebih dahulu, dengan alasan mereka berbagai pernyataan bahwa mereka tidak dapat untuk berdamai lagi.
Berdasarkan hasil penelitian di Kantor BP4 Kecamatan Sukajadi, Bandung yang melakukan mediasi di BP4 oleh suami-istri 60 % (persen) berhasil dapat didamaikan lagi 40 % (persen) nya gagal karena ada beberapa faktor yang membuat mereka bersiteguh untuk tetap bercerai, diantaranya :
- Faktor Ekonomi, sebesar 40 % (persen) ;
- Perselingkuhan, yang banyaknya dikarenakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IT) melalui social media atau jejaring sosial internet salah satu contohnya seperti (facebook), sebesar 40 % (persen) ;
- Sudah tidak ada kecocokan antara suami dan istri dalam prinsip berumah tangga, sebesar 20 % (persen).
Mediasi yang berhasil dilakukan di BP4 maka tidak akan ditindaklanjuti ke Pengadilan Agama. BP4 Kecamatan Sukajadi Kota Bandung inisangat berperan penting dalam mengurangi terjadinya perceraian khususnya di wilayah.Meskipun masih saja terjadi perceraian, setidaknya BP4 ini bisa dapat menekan angka perceraian itu untuk mencari solusi guna mengurangi terjadinya perceraian di masyarakat.
Kekuatan hukum yang dimiliki oleh calon sepasang suami istri merupakan sertifikat kursus calon pengantin yang dikeluarkan oleh BP4 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor: DJ.II/491 Tahun 2009, Tanggal 10 Desember 2009, kegiatan ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan bagi calon pengantin untuk mendapatkan bimbingan sebelum berumah tangga guna untuk meningkatkan kualitas rumah tangga mereka agar menghindari terjadinya perceraian.
Bagi para pihak yang melakukan mediasi di BP4 dan berhasil mencapai perdamaian atau mediasi ini harus membuat kesepakatan dan perjanjian di atas materai yang diketahui oleh KUA, contohnya :
- Apabila permasalah dalam rumah tangganya dikarenakan perselingkuhan, maka perjanjian tersebut akan dibuat untuk tidak melakukan perbuatan tersebut lagi ;
- Apabila suaminya tidak memberikan nafkah kepada istri, maka perjanjian tersebut dibuat untuk tidak lalai dalam memberikan nafkah kepada istri.
Perjanjian tersebut dibuat dihadapan kepala KUA dan para pihak yang bersangkutan, namun apabila perjanjian tersebut tidak terpenuhi maka sesuai kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian, maka pihak yang telah berjanji siap untuk tuntut dan dilanjutkan ke dalam proses persidangan di Pengadilan Agama untuk melakukan proses perceraian.
Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) merupakan Organisasi perkumpulan yang bersifat sosial keagamaan sebagai mitra Kementerian Agama dan instansi terkait lain dalam upaya meningkatkan kualitas perkawinan umat Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi keluarga muslimin di seluruh Indonesia. BP4 yang bertujuan mempertinggi mutuperkawinan guna mewujudkan keluargasakina hmenurut ajaran Islam untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, bahagia, sejahtera materil dan spirituil.
Sengketa suami isteri pada dasarnya disebabkan antara lain kurangnya pihak suami atau isteri memaknai arti penting suatu ikatan perkawinan atas suatu yang telah disyariatkan Islam. Perceraian pada intinya dapat terjadi dari faktor ekonomi, selingkuh, latar belakang pendidikan. Semua ini adalah penyebab yang membawa dampak dan andil yang prosentasenya hampir mencapai 90% tingkat sengketa rumah tangga itu terjadi.
Penyelesaian sengketa suami isteri dapat ditempuh dengan damai, dengan menentukan dan menunjuk satu orang juru damai dari pihak keluarga suami dan keluarga isteri. Konsep ini sesuai dengan QS. An-Nisa’ ayat 35, agar sengketa rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik dan dapat diterima oleh semua pihak. Fase mediasi yang dilaksanakan oleh hakam ini adalah merupakan fase kedua, sedangkan fase pertama adalah diselesaikan sendiri oleh suami dan isteri yang bersengketa. Proses penyelesaian melalui hakam adalah jalur diluar litigasi, dengan manfaat dapat diselesaikan dengan waktu relatif singkat, dapat diterima oleh semua pihak dan dapat menyimpan rahasia perselisihan suami isteri.
Jika sengketa suami isteri tidak dapat dihindari, sebaiknya selesaikan secara internal suami isteri. Hindari berbagai bentuk perselisihan dan pertengkaran, dan selalu menjaga dan saling menghormati adalah penting dalam setiap menjalin kehidupan rumah tangga. Selalu dapat menerima kekurangan suami atau isteri, sebab konteks manusia adalah serba kekurangan dan Allah-lah yang paling sempurna.
Gede Widhiana Putra, Mediasi, Jakarta, 22 Mei 2006.
Hassan Hathout (2008), Panduan Seks Islami, (terjemahan oleh Yudi), Zahra, Jakarta.
Kamil AI-Hayali (2005), Solusi Islam dalam konflik rumah tangga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kamil Musa (2000), Suami Isteri Islami (terjemahan oleh Bahruddin Fannani), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian,
http//:www.pojokhukum.blogspot.com/2008/03/mediasi-dalam-penyelesaiansengketa.html.
Wahyu Widiana, Pola Penasehatan Keluarga Bermasalah Peranan Mediasi Sebagai Salah Satu Alternatjf Makalah disampaikan pada Rakemas BP4, Jakarta, 15 Agustus 2006.
[1] Hassan Hathout (2008), Panduan Seks Islami, (terjemahan oleh Yudi), Zahra, Jakarta.
[2] Kamil Musa (2000), Suami Isteri Islami (terjemahan oleh Bahruddin Fannani), PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
[3] Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian
[4] Kamil AI-Hayali (2005), Solusi Islam dalam konflik rumah tangga, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
[5] Gede Widhiana Putra, Mediasi, Jakarta, 22 Mei 2006.