Menu

Mode Gelap

Artikel · 26 Jan 2025 22:53 WIB ·

“Dimensi Ilahiah: Isra’ Mi’raj dalam Lensa Sains dan Shalat”


 “Dimensi Ilahiah: Isra’ Mi’raj dalam Lensa Sains dan Shalat” Perbesar

          “Dimensi Ilahiah: Isra’ Mi’raj dalam Lensa Sains dan Shalat”

Oleh : Dian Rachmat , SHI, M.Sy ( Kepala KUA Tawang Kota Tasikmalaya )

1. Eksplorasi Makna  Isra Mi’raj

Sebagian kaum Mutaakhirin menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berisra’ dari Mekah ke Baitul Maqdis saja, di lain waktu dari Mekah ke langit saja, dan di lain waktu dari Mekah ke Baitul Maqdis, lalu ke langit. Mereka bergembira dengan paham ini dan merasa telah berhasil memperoleh kesimpulan yang dapat melepaskan diri dari berbagai kesulitan. Keterangan mereka itu sangatlah menyimpang. Keterangan itu tidak dikutip dari seorang ulama salaf pun. Andaikan Israa’ itu bervariasi, niscaya Nabi Muhammad saw akan memberitahukan kepada umatnya dan niscaya manusia akan mengutipnya secara berulang dan berulang.

Musa bin Uqbah meriwayatkan dari az-Zuhri, “Israa’ terjadi satu tahun sebelum hijrah.” Demikian pula menurut Urqah. As- Sa’di berkata, “Terjadi pada 16 bulan sebe Jun hijrah. Yang benar adalah bahwa Nabi Muhammad saw diisra’kan dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur, dari Mekah ke Baitul Maqdis sambil menunggang Buraq. Setelah beliau tiba di pintu Masjidil Aqsha, beliau menambahkannya di dekat pintu. Kemudian, beliau masuk dan mengerjakan shalat tahiyatul masjid dua rakaat.

Kemudian, di sajikanlah sebuah tempat seperti tangga yang bertitian untuk naik. Nabi Muhammad saw menitinya dan naik ke langit dunia, kemudian ke langit lainnya yang berjumlah tujuh buah, Pada setiap langit, beliau dengan para penghuninya dan mengucapkan salam kepada nabi yang berada di berbagai langit selaras dengan kedudukan dan derajat mereka hingga beliau bertemu dengan Musa al-Kalim di langit keenam dan Ibrahim di langit ketujuh. Kemudian, nabi melampaui kedudukan kedua nabi itu dan para nabi lainnya hingga beliau tiba di Mustawa dan dapat mendengar berderitnya pena pencatat takdir yang akan terjadi. Beliau melihat Sidratul Muntaha dan tertutup-atas perintah Allah Ta’ala–dengan kemuliaan yang besar berupa tirai emas dan dengan aneka warna. Para malaikat yang menutupnya. Di sana, beliau melihat sosok Jibril yang memiliki 600 sayap Beliau melihat Rafraf hijau yang menutupi ufuk. Beliau juga melihat Baitul Ma’mur, sedang Ibrahim, pendiri Ka’bah pumi, tengah bersandar ke sana. Baitul Ma’mur merupakan Ka’bah langit. Setiap hari, mpat itu dimasuki 70.000 malaikat dan mereka tidak kembali lagi dari sana hingga ri Kiamat. Beliau melihat surga dan neraka. Allah memfardukan shalat lima puluh di sana. Kemudian, Dia meringankan- menjadi lima kali sebagai tanda kasih sayang-Nya dan kelembutan kepada hamba-Nya. Pemberlakuan kewajiban shalat di sana menunjukkan bahwa betapa shalat sangat penting, mulia, dan agung

Al-Hafizh Ibnu Katsir telah menampilkan hadits yang berbeda-beda kualitas kesahihan dan kelemahannya Namun, Kami membelikan untuk Anda hadits-ahad yang shahih saja seperti dijelaskan di atas; hadis yang menguatkan kepada Anda bahwa isra’ dan mikraj benar, bukan imajinasi, dilakukan ketika sadar, bukan  ketika tidur, berikut jasmani dan rohani.

Kemudian, Nabi Muhammad saw turun ke Baitul Maqdis dan turun pula para nabi bersamanya. Dia shalat bersama mereka ketika tiba waktunya. Di antara ulama, ada yang berpendapat bahwa beliau mengimami mereka di langit. Namun, menurut penjelasan beberapa riwayat hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa shalat itu terjadi saat beliau pertama kali memasukinya Yang jelas bahwa shalat itu dilakukan setelah dia kembali ke Masjidil Aqsha, sebab tatkala dia melintasi mereka pada tempat masing-masing, mereka bertanya kepada Jibril siapa yang menyertainya, dan Jibril memberitahukan siapa dia. Inilah pendapat yang relevan karena tujuan utama menghadap Zat Yang Mahatinggi ialah untuk menerima kewajiban shalat baginya dan umatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah beliau menerimanya, maka Nabi Muhammad saw berkumpul dengan saudara- saudaranya dari kalangan para nabi. Kemudian, Allah menonjolkan kemuliaan dan keutamaannya atas nabi lain dengan menjadikannya sebagai shalat melalui isyarat yang diberikan Jibril. Kemudian, Nabi Muhammad saw keluar dari Baitul Maqdis, lalu menunggangi Buraq dan pulang ke Mekah pada akhir malam. Allah Maha Mengetahui tentang hal itu.

Kemudian, khalayak berikhtilaf, apakah Isra’ itu berikut tubuh dan rohnya atau ruhnya saja? Mengenai hal ini ada dua pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Isra’ itu berikut badan dan rohnya, dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka tidak menolak jika sebelum itu Rasulullah memimpikan hal itu, setelah melihatnya dengan sadar, sebab bermimpi melainkan mum pert falak di waktu subuh Kemudian, terjadilah Israa dalam keadaan sadar dan nyata. Yang landasan pendapat itu ialah fir Allah Ta’ala, “Maha Suci Dzat Yang telah jadikan hamba-Nya pada malam hari Magadhi Apsha yang telah Kami berkati se “Ungkapan tasbih hanya diguna- Lan ketika menghadapi perkara yang hebat. Dengan demikian, jika Israa terjadi dalam mimpi, berarti ia bukan perkara yang besar dan tidak dianggap besar. Tatkala kaum kafir Quraisy mendustakannya dengan cepat, sebagian orang muslim menjadi murtad

Selain itu, hamba berarti terdiri dari kesatuan antara ruh dan jasad, maka ini pun menunjukkan besarnya perkara Israa. Allah Ta’ala berfirman, “Memperjalankan hamba-Nya pada malam hari. Lalu, Firman Allah Ta’ala pada surah al-Israa ayat 60. “Dan tidaklah Kami menjadikan mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan merupakan ujian bagi manusia,” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, yaitu melihat dengan mata yang diperlihatkan kepada Rasulullah pada malam Isra”. Demikian diriwayatkan Bukhari.

Firman Allah Ta’ala, “Penglihatannya tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak melampauinya.” (an-Najm: 17) Mata merupakan perangkat fisikal, bukan mentalistik. Ayat ini pun ditafsirkan kepada Buraq, yaitu binatang tunggangan yang putih berkilau dan memiliki dua mata. Melihat hanya berlaku bagi tubuh, tidak bagi ruh sebab roh tidak memerlukan tunggangan ketika bergerak. Wallahu a’lam.

Al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asfahani me- riwayatkan keterangan dalam buku Dala-ilun Nubuwwah dari jalur Muhammad bin Umar al-Waqidi, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi. Ringkasannya demikian, “Tatkala Heraklius memanggil Abu Sufyan dan menanyakan kepadanya tentang Rasulullah. maka Abu Sufyan berusaha menjawab dengan nada menghina beliau. Dia berkata, ‘Wahai paduka, maukah aku ceritakan kepada engkau sebuah kisah sehingga engkau mengetahui bahwa Muhammad telah berdusta? Heraklius berkata. “Cerita apakah itu? Abu Sufyan berkata, ‘Dia mengatakan bahwa dirinya telah pergi ke negeri Kami, negeri Haram, dalam satu malam, lalu tiba di masjid páduka, yaitu Masjid Iliya (Baitul Maqdis) ini. Dan pulang kepada Kami pada malam itu juga sebelum subuh.”

Abu Nu’aim berkata, “Saat itu, Patrik Elia berada di sisi Kaisar. Patrick Elia berkata, ‘Aku tahu malam yang dimaksud ftu.” Perawi berkata, “Kemudian, Kaisar melirik patrick dan berkata, ‘Apa yang kamu ketahui mengenai hal ini? Patrik menjawab, ‘Sesungguhnya, aku tidak bisa pergi tidur sebelum mengunci semua pintu masjid. Pada malam itu pun aku mengunci semua pintu, kecuali satu. Aku tidak mampu menutupnya. Maka, aku pun meminta bantuan kepada para pekerja dan orang-orang yang ada di sana. Namun, Kami tidak mampu menggerakkannya. Seolah-olah pintu itu di- himpit oleh sebuah gunung. Kemudian, aku memanggil sejumlah tukang kayu. Mereka memeriksakannya, lalu berkata, ‘Pintu ini terhimpit kusen atas (ambang) dan ba- ngunan masjid. Kami tidak sanggup mem betulkannya, kecuali siang hingga Kami mengetahui sumber himpitannya.”

Patrick melanjutkan, “Kemudian, aku pergi dan membiarkan dua daun pintu itu terbuka. Ketika pagi tiba, aku pergi untuk memeriksanya, ternyata batu yang berada di sudut masjid itu berlubang dan aku menemukan bekas tambatan binatang. Lalu, aku berkata kepada sahabatku, Tidaklah pintu itu macet di malam tersebut, melainkan karena seorang nabi yang shalat pada malam itu di masjid kita.” Abu Nu’aim menceritakan lanjutan hadits ini.

2.   Dari Ilmu Sains

Acapkali orang mempertanyakan kebenaran Islam lewat perspektif keilmuan, sementara metode keilmuan selama ini yang dipakai adalah metode keilmuan Barat yang sekuler. Inilah yang seringkali menimbulkan bias. Jika orang hendak melihat Islam secara ilmiah, maka perspektifnya harus dibangun dari perspektif keilmuan Islam. Bagaimana pendekatan studi Islam?

Dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan rasional-spikulatif-idealistik dan pendekatan rasional-empirik. Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis, yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik, termasuk dalam hal ini adalah perisatiwa mi’raj nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia; kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw.  dari  Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada  27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya.

 

Kaum emipris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan: Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya? Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Ya, bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu. Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaiman konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.  Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis). Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab Al-Qur’an menyebutkan : …. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS.17 : 85).

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20. Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“. Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.

3.   Pesan Shalat Lima Waktu

Sebetulnya peristiwa Isra’ Mi’raj ini memiliki arti penting bagi pembinaan keperibadian manusia, karena dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut Nabi menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari. Shalat inilah yang merupakan inti dari peristiwa besar tersebut, karena shalat merupakan tiang agama dan dasar dari pembangunan keperibadian manusia. Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti zikir dan senantiasa mengingat Allah dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya, sebagaimana penegasan Allah SWT melalui firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar” (QS. Al-‘Ankabut:35). Inti dari perisiwa inilah yang hingga sekarang menjadi tradisi wajib yang senantisa dikerjakan oleh setiap muslim. Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.

 

Jauh sebelum zaman kita sekarang ini Nabi sudah memperingatkan kepada umatnya, bahwa suatu saat nanti akan datang kepada umat manusia, di mana banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi (hakikatnya) mereka tidak shalat. Inilah fenomena zaman yang barangkali tengah kita alami sekarang ini, yang sering dipertanyakan orang mengenai relevansi shalat dengan fenomenan maraknya kejahatan dan tindak kezaliman lainnya. Apa artinya semua ini?

 

Tengara Nabi itu terbukti, yaitu telah tiba saatnya di mana banyak tempat peribadatan dibangun, tetapi aktivitas dan isinya minim. Tibalah saatnya generasi penerus (generasi yang miskin) yang menyia-nyiakan shalat dan mereka terbawa oleh nafsunya, inilah saatnya mereka akan menemui kesulitan dan krisis multi dimensi. Demikianlah kondisi yang digambarkan oleh Nabi yang dialami oleh orang-orang munafik. Ini pula yang dimaksud Al-Qur’an surat Al-Ma’un, yaitu banyak orang yang melakukan shalat tetapi yang diperoleh hanyalah kesengsaraan (digambarkan dengan siksa neraka Wel), karena mereka melalaikan shalat dan hanya ingin dilihat dan dipuji orang.

 

Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu: Pertamalalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”. Kedualalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak thuma’ninah). Ketigaorang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin thuma’ninah dan tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh simpelnya, seusai shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau sahun dalam bahasa Qur’an-nya.

 

Jika kita mampu mengeliminir (mendesekularisasi) sikap-sikap di atas, maka berarti kita termasuk kategori manusia yang disebut oleh Allah SWT sebagai aflah al-mu’minun, yaitu orang-orang mukmin yang paling beruntung, orang-orang yang khusyu’ dalam melaksanakn shalatnya (lihat QS. Al-Mu’minun:1-2).

 

Shalat memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan orang mukmin. Sehingga Nabi pernah menyatakan “shalat itu sama dengan mi’raj-nya orang-orang mukmin”. Seperti halnya bagi orang yang tidak mampu pergi haji ke Makkah, maka shalat jum’ah bagi mereka dianggap sama nilainya dengan pergi haji ke Makkah. Itulah kemurahan Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya.[*]

 

 

Artikel ini telah dibaca 0 kali

Baca Lainnya

Tradisi Sibali Peri Sebagai Penopang Keluarga Sakinah Masyarakat Bugis

29 Juli 2025 - 08:01 WIB

Mitsaqan Ghalidzan: Ketika Akad Nikah Disetarakan Dengan Amanah Para Nabi

29 Juli 2025 - 07:58 WIB

Penghulu Juga Manusia Biasa (Catatan Haru dari Momen Sakral Sang Penghulu)

26 Juli 2025 - 11:08 WIB

Nikah Siri dan Dilema Hukum: Peran Penghulu dalam Penegakan Hak Perempuan dan Anak

24 Juli 2025 - 14:58 WIB

Pentingnya Peranan Orang Tua Dalam Mempersiapkan Generasi Berkualitas

24 Juli 2025 - 11:10 WIB

Menikah Bukan Sekadar Akad, Ini Persiapan Penting Menurut Fiqih Munakahat

23 Juli 2025 - 14:08 WIB

Trending di Artikel