PENDAHULUAN
Pada tanggal 24 Maret 2024 yang notabene masih dalam suasana Ramadhan 1445 H, SCTV menayangkan sinetron Para Pencari Tuhan Jilid 17 Episode 13. Dalam sinetron yang diproduksi oleh PT Demi Gisela Citra Sinema (DGCS) tersebut, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai ketentuan dan regulasi perkawinan yang berlaku di Indonesia. Hal ini bisa menyesatkan pemahaman masyarakat luas tentang hukum perkawinan Islam yang diterapkan di Indonesia. Untuk itu, kami perlu memberikan tanggapan terhadap sinetron tersebut.
Pada adegan yang mengambil lokasi di KUA Duren Sawit Jakarta Timur, terjadi pembicaraan antara tiga orang, yaitu Pongki (Fuad Idris), Maimunah alias Maimun (Ruth Marini), seorang petugas resepsionis, dan seorang yang berperan sebagai Penghulu KUA (Dik Doank).
Dari beberapa dialog antara orang-orang tersebut, bisa dipahami bahwa Pongki adalah seorang duda yang sudah tiga kali menikah. Sedangkan Maimunah adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya. Keduanya hendak melangsungkan pernikahan di Kantor KUA. Berkasnya sudah dinyatakan lengkap oleh petugas resepsionis. Kedatangan keduanya ke KUA karena memang jadwal akad nikah yang sudah disepakati.
Secara garis besar, persoalan yang bisa berpotensi menyesatkan pemahaman masyarakat dari sinetron tersebut, terkait dengan tiga hal, yaitu wali, saksi, dan prosedur nikah. Padahal ketentuan dan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sudah diatur dalam bentuk Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 juncto Nomor 16 Tahun 2019, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019. Secara umum, semua regulasi tersebut mengacu kepada mazhab Syafi’i yang memang banyak dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
ULASAN
1. WALI
a. Wali nikah bagi gadis tidak selalu bapak kandung
Dalam sinetron tersebut, terdapat dialog yang bisa menimbulkan pemahaman masyarakat bahwa yang berhak menjadi wali untuk seorang gadis adalah bapak kandungnya sendiri saja. Pemahaman ini bisa muncul karena terdapat penjelasan dari sang penghulu yang mengatakan, “Untuk seorang gadis, yang berhak menjadi wali adalah bapak kandungnya sendiri.”
Padahal sebenarnya, baik gadis maupun janda, tidak selalu bapak kandungnya yang menjadi wali nikah. Memang bapak kandung adalah urutan pertama menjadi wali, baik terhadap seorang gadis maupun janda. Namun jika ayah kandungnya sudah meninggal, maka urutan wali berpindah ke wali berikutnya, yaitu kakek dari jalur ayah. Jika kakek sudah meninggal, maka wali berpindah ke urutan wali berikutnya, yaitu saudara laki-laki sekandung, dan seteru sesuai urutan wali.
Dalam konteks hukum fikih, memang terdapat konsep wali mujbir, yaitu wali yang berhak menikahkan seorang perempuan yang berstatus sebagai gadis (bikr), meskipun tanpa izin dari sang gadis. Wali mujbir hanya dimiliki oleh bapak kandung dan kakek kandung dari jalur ayah. Meski demikian, pernikahan tanpa izin tersebut bukan berarti dilakukan dengan sewenang-wenang. Dalam al-Iqna karya asy-Syarbini, dijelaskan bahwa pernikahan tanpa izin pengantin perempuan harus memenuhi beberapa syarat di antaranya: tidak ada permusuhan dan sengketa antara wali mujbir dan pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki memang sederajat (sekufu), pengantin laki-laki bukan orang yang memiliki kondisi yang akan menyulitkan, seperti orang buta atau orang tua renta, dan lain-lain.
b. Seorang janda tidak bisa menentukan wali sesuai keinginannya
Terdapat penjelasan dari sang penghulu dalam sinetron itu: “Untuk seorang janda yang ingin menikah lagi, apabila walinya tidak ada, maka ia berhak untuk menentukan sendiri walinya, yang sesuai dengan yang ia kehendaki.”
Pernyataan dari sang penghulu itu bisa sangat menyesatkan bagi masyarakat awam yang menonton sinetron tersebut. Hal itu karena seorang perempuan yang berstatus janda tidak bisa seenaknya menentukan walinya sesuai keinginannya sendiri. Jika memang wali nasabnya tidak ada, karena sudah meninggal, maka hak perwaliannya berpindah kepada urutan wali berikutnya. Jika seorang bapak kandung dari seorang janda sudah meninggal, maka hak perwalian berpindah ke kakek dari jalur ayah. Jika kakek sudah meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada saudara laki-laki sekandung, dan seterusnya sesuai urutan wali.
Jika semua wali nasabnya sesuai dengan urutan wali sudah tidak, baru kemudian hak perwaliannya berpindah kepada wali hakim. Dalam hal ini, seorang Kepala KUA adalah wali hakim yang ditunjuk oleh negara secara resmi. Jika Penghulu yang menjabat Kepala KUA berhalangan karena alasan tertentu, kewenangan menjadi wali hakim bisa diduduki secara ad interim oleh Penghulu biasa yang bukan pejabat Kepala KUA.
Sebagaimana disebutkan di atas, terdapat penjelasan penghulu: “Untuk seorang janda yang ingin menikah lagi, apabila walinya tidak ada, maka ia berhak untuk menentukan sendiri walinya, yang sesuai dengan yang ia kehendaki.” Terhadap penjelasan tersebut, Maimunah langsung menimpali dengan pertanyaan: “Walaupun bukan bapak kandung?” Pertanyaan Maimunah itu lantas dijawab dengan sang penghulu, “Ya!”
Dialog tersebut bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa seorang janda bisa menentukan wali nikahnya sesuai keinginannya, meskipun yang dia tunjuk sebagai wali itu bukan bapak kandungnya. Hal ini tentu saja sangat menyesatkan. Ketika bapak kandung masih ada, kewenangan menjadi wali nikah bagi seorang janda tetaplah berada di tangan bapak kandungnya. Sang janda tidak bisa seenaknya menentukan sendiri walinya selain bapak kandung.
Namun dalam hal wali nikah, baik ayah kandung, kakek dari jalur ayah, atau urutan wali berikutnya menolak (‘adhal) untuk menjadi wali, barulah kewenangan wali nikah berpindah ke wali hakim. Namun Kepindahan kepada wali hakim itu pun harus melalui proses sidang permohonan wali ‘adhal di Pengadilan Agama. Dengan demikian, pemahaman bahwa janda bisa menentukan wali nikahnya sendiri adalah sangat menyesatkan.
c. Surat kuasa wali nikah tidak ada kaitannya dengan status janda atau gadis
Dalam adegan sinetron tersebut, penonton bisa memahami bahwa kedatangan Pongki dan Maimunah ke Kantor KUA adalah untuk berkonsultasi terkait dengan kendala surat kuasa wali nikah. Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa calon pengantin tersebut belum memperoleh surat kuasa wali nikah. Namun oleh sang penghulu, surat kuasa wali nikah tidak menjadi masalah, karena Maimunah sudah berstatus sebagai janda.
Pemahaman tersebut adalah tidak tepat. Hal itu karena surat kuasa wali nikah tidak ada kaitannya dengan status perempuan, baik janda ataupun gadis. Surat kuasa wali nikah itu terkait dengan kondisi ketika seorang wali nikah tidak bisa menghadiri saat prosesi akad nikah, padahal yang bersangkutan masih hidup, diketahui keberadaannya, dan bisa dihubungi. Kondisi tidak bisa menghadiri itu bisa karena tuntutan pekerjaan, sakit, atau kendala jarak yang jauh.
Dalam hal tersebut, seorang wali nikah bisa membuat surat kuasa wali nikah (taukil wali bil kitabah). Surat kuasa tersebut berisi informasi bahwa sang wali nikah tidak bisa menghadiri akad nikah. Sang wali memberikan kuasa kepada orang lain yang tertera dalam surat tersebut untuk mewakili dirinya menghadiri proses akad nikah. Surat kuasa wali nikah tersebut diketahui oleh pejabat yang berwenang, yaitu Kepala KUA/Penghulu dari kantor KUA sesuai dengan tempat domisili si wali. Hal ini sesuai dengan Pasal Kompilasi Hukum Islam Pasal 28 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 Pasal 12 ayat 5.
2. SAKSI
a. Saksi asal tunjuk di jalan
Dalam sinetron tersebut, terdapat adegan yang secara tidak langsung sangat menciderai kehormatan pernikahan. Hal ini terkait dengan penunjukan saksi. Saat penghulu menanyakan siapa yang menjadi saksi kepada Pongki dan Maimun, keduanya terlihat kebingungan. Pongki lantas keluar dari ruangan penghulu dan mencari-cari orang lain untuk dijadikan saksi.
Pada saat kebersamaan, tiba-tiba muncul petugas resepsionis KUA, yang langsung digamit oleh Pongki. Sejurus kemudian, datang pula tukang servis AC yang kebetulan mau memperbaiki AC kantor. Pongki pun langsung meminta petugas resepsionis dan si tukang AC untuk menjadi saksi pada pernikahan dirinya dan Maimunah.
Adegan tersebut menunjukkan bahwa pernikahan bisa dilangsungkan dengan asal tunjuk saksi. Tak peduli apakah saksi tersebut mengenal atau tidak terhadap kedua mempelai. Hal ini tentu menjadi contoh buruk bagi pelaksanaan pernikahan. Apalagi dalam adegan tersebut, pernikahan tersebut jelas dilaksanakan di kantor KUA. Dengan kata lain, pernikahan tersebut dilakukan oleh petugas dan lembaga resmi yang berwenang,
Padahal seharusnya saksi tidak boleh asal tunjuk. Sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 24-26, saksi merupakan salah satu rukun pernikahan yang juga memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi, seperti adil dan beragama Islam. Kedudukan saksi menjadi penting karena ia bisa menjadi pihak yang dimintai klarifikasi oleh petugas terkait dengan keabsahan status calon pengantin, status wali, dan prosesi ijab kabul. Demikian pula, saat terjadi masalah di kemudian hari terkait dengan pernikahan tersebut, sang wali pun bisa menjadi pihak yang bisa dimintai penjelasannya.
b. Saksi minta bayaran.
Masih terkait dengan saksi, terdapat pula adegan yang sangat tidak pantas ditayangkan. Hal itu terkait dengan transaksi untuk menjadi saksi. Saat tukang AC dimintai menjadi saksi, terjadi adegan tawar-menawar harga yang sengit dengan Pongki. Pernikahan pun menjadi tak ubahnya transaksi jual beli di pasar. Sungguh, hal ini sangat keterlaluan, dan melukai perasaan para penghulu.
Jika pernikahan tersebut bukan terjadi di KUA, dan tidak dilakukan oleh petugas resmi negara, mungkin transaksi tawar-menawar itu biasa saja terjadi. Pernikahan-pernikahan yang dilakukan oleh bukan petugas resmi dan di luar KUA, bisa saja melanggar prosedur pernikahan yang ditetapkan oleh pemerintah, bahkan bisa saja melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah, seperti terkait iddah.
Namun jika pernikahan itu dilaksanakan di KUA dan sesuai prosedur, tentu saja persoalan saksi sudah diselesaikan saat pendaftaran dan pemeriksaan awal. Justru pihak KUA adalah lembaga yang berwenang untuk mengawasi pernikahan sesuai dengan regulasi dan hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
3. PROSEDUR NIKAH
a. Berkas lengkap, tapi ternyata tidak lengkap
Terdapat adegan yang tidak logis dan sinkron dalam sinetron. Saat dialog antara Pongki dan petugas resepsionis terjadi, sang petugas menyatakan bahwa surat-suratnya sudah lengkap. Namun pada adegan berikutnya, ternyata masih ada yang belum lengkap, yaitu surat kuasa wali nikah dan siapa saja yang menjadi saksi. Jika memang surat-suratnya sudah dinyatakan lengkap, tentu persoalan wali sudah selesai, dan identitas para saksi sudah didaftarkan saat pertama kali pendaftaran.
Secara tidak langsung, penulis skenario dari sinetron tidak mengetahui tentang bagaimana prosedur pendaftaran pernikahan di KUA. Padahal lokasi pernikahannya di KUA. Jika memang adegan pernikahannya di KUA, dan dihadiri oleh petugas resmi, semestinya adegan-adegan yang ditampilkan sesuai dengan regulasi dan prosedur yang diterapkan di KUA. Naskah skenarionya terlebih dikonsultasikan dengan pihak KUA yang menjadi lokasi syuting.
Sebagaimana diketahui, KUA sekarang sudah menyesuaikan dengan kemajuan zaman. Pendaftaran pernikahan sudah menggunakan sistem digital melalui aplikasi Simkah Web. Semua data mestinya sudah di-entry saat pendaftaran dan pemeriksaan berkas sebelum terjadi akad nikah. Dengan demikian, data wali dan saksi sudah selesai sebelum pernikahan itu terjadi.
b. Tanpa wali dan saksi
Saat Pongki dan Maimunah datang ke Kantor KUA, keluar pula sepasang laki-laki dan perempuan dari dalam kantor KUA. Ternyata kedua orang itu mengaku baru saja menikah. Tak ada orang lain yang mengiringi sepasang pengantin tersebut. Hal ini bisa menimbulkan pemahaman bahwa pernikahan di kantor KUA adalah perkara yang remeh dan gampang. Tanpa harus ada wali dan saksi pun, pernikahan bisa dilangsungkan di KUA. Cukup calon pengantin laki-laki dan pengantin perempuan datang ke KUA, semua hal yang lain bisa diatur. Pemahaman ini bisa menyesatkan bagi khalayak umum. Nilai-nilai sakral pernikahan menjadi luntur dalam adegan sinetron tersebut.
Bagaimanapun pernikahan di KUA sudah berdasarkan peraturan dan regulasi positif yang berlaku. Tidak ada lagi ada perdebatan fiqh dan persoalan khilafiyah antar mazhab yang digunakan. Semua perdebatan dan perbedaan pandangan mazhab fikih sudah selesai dengan adanya aturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana dikatakan al-Mawardi di al-Ahkam as-Sulthaniyyah, salah satu tujuan dibentuknya pemerintahan adalah mencegah timbulnya anarki dan memberikan kepastian hukum saat terjadi silang pendapat di tengah masyarakat. Ditambah lagi, dalam Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, Imam al-Qarafi juga menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan oleh pemerintah adalah menghilangkan perbedaan pendapat.
Di antara perdebatan fikih itu, termasuk pula bahwa pernikahan boleh tanpa wali seperti dalam mazhab Hanafi. Dalam mazhab Maliki, pernikahan boleh tanpa dihadiri oleh dua orang saksi yang menyaksikan langsung akad nikah. Bahkan dalam mazhab Dawud az-Zahiri, pernikahan boleh tanpa wali dan tanpa saksi. Ketiga model pernikahan tersebut dijelaskan dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra karya Ibnu Hajar al-Haitami, salah seorang ulama yang dianggap sebagai pengikut mazhab Zahiri. Mengutip pendapat Imam ar-Rafi’i, pernikahan tanpa wali dan saksi justru pelakunya bisa dihukum had. Namun semua pendapat tersebut tidak berlaku dalam tataran regulasi perkawinan di Indonesia.
PENUTUP
Demikian ulasan tentang praktek pernikahan yang ditampilkan dalam sinetron Para Pencari Tuhan Jilid 17 Episode 13. Semoga kejadian hal ini tidak terulang di kemudian hari. Para sineas, seperti Deddy Mizwar, mungkin memang berniat baik untuk memberikan misi dakwah dalam karyanya. Meski demikian, alangkah baiknya jika hal-hal yang terkait dengan hukum yang memang sudah diatur dalam regulasi dan perundangan, dikonsultasikan terlebih kepada pihak-pihak yang berwenang dan memiliki kompetensi. Dengan demikian, misi dakwahnya benar-benar diharapkan memberikan pesan positif kepada masyarakat, bukan pesan yang justru menyesatkan. Wallahu a’lam.
Penulis:
Abdurrasyid Ridha
– Pengurus Biro Kajian Hukum dan Karya Ilmiah PP APRI.
– Ketua PC APRI Kabupaten Indramayu