Menu

Mode Gelap

Hikmah · 14 Nov 2024 09:04 WIB ·

Wali Nikah Ab’ad Part 1


 Wali Nikah Ab’ad Part 1 Perbesar

WALI NIKAH AB’AD PART 1

  1. Pendahuluan

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang  mesti ada dan tidak sah akad nikah yang tidak dilakukan oleh wali nikah atau wakilnya. Wali nikah ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan, menurut kesepakatan  ulama adalah prinsip. Dalam akad nikah itu sendiri wali dapat   berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.

Pengertian wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Artinya dalam perkawinan wali itu adalah seorang yang bertindak atas nama calon istri dalam suatu akad nikah.

Wali nikah terbahagi dua, yaitu wali nasab dan wali hakim. Wali nasab adalah anggota keluarga laki-laki dari calon istri yang mempunyai hubungan darah dengan calon istri dari pihak ayah menurut ketentuan hukum Islam.sedangkan wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.

Wali nasab terbagi dua wali aqrab dan wali ab’ad. Wali nasab yang berhak menjadi wali dalam pernikahan adalah wali akrab. Jika ada wali ab’ad bertindak sebagai wali sementara wali akrabnya masih ada maka pernikahan tersebut tidak sah dan batal. Maka salah satu syarat wali nikah adalah harus wali yang paling dekat hubungan nasabnya dengan calon istri atau wali akrab.

Perkara wali nikah dalam suatu pernikahan sangat banyak. Masyarakat masih banyak yang belum memahami fungsi, atau kedudukan wali nikah dengan segala ketentuan yang melekat terhadap keberadaan wali nikah tersebut. Pada akhirnya sering terjadi kesalahpahaman dan perdebatan antara masyarakat dengan petugas KUA ketika adanya pendaftaran kehendak nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).

  1. Wali Dalam Pernikahan.

Keberadaan wali nikah mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Urgensi adanya wali sangat penting, artinya sangat dibutuhkan peranannya dan pertanggung jawabannya terhadap sah tidaknya suatu akad nikah. Kehadiran seorang wali termasuk salah satu rukun pernikahan. Sebagaimana dijelaskan dalam KHI pasal 14 disebutkan bahwa melaksanakan perkawinan harus ada; calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.[1]

Pernikahan memiliki syarat dan rukun, diantaranya adanya seorang wali nikah. Wali dalam pernikahan merupakan rukun, artinya harus ada dalam pernikahan bagi seorang calon istri. Tanpa adanya wali, pernikahan dianggap tidak sah.Wali adalah orang yang memegang sah tidaknya pernikahan, oleh karena itu tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Apabila dalam pernikahan tidak ada wali, pernikahan tersebut cacat hukum dan dikategorikan sebagai nikah bathil atau nikah rusak.  Berkaitan dengan wali Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Burdah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda,”Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.[2]

Hal tersebut diperjelas KHI pasal 19 yang menyebutkan bahwa;

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” [3]

Wali dalam pernikahan terbagi dua yaitu wali nasab dan wali hakim.

  1. Wali Nasab

Wali nasab, mempunyai kewenangan dalam perwalian nikah, sesuai urutan kedudukannya yang terdekat dengan calon mempelai perempuan. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan mereka sebagai keluarga terdekat. Jika mereka tidak ada, atau mereka tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka enggan, perwalian yang seharusnya menjadi hak mereka berpindah kepada hakim.

Apabila wali yang lebih dekat sedang berpergian atau tidak di tempat, maka wali yang jauh hanya dapat menjadi wali apabila telah mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat. jika pemberi kuasa tidak ada maka hak perwalian pindah kepada wali hakim.

Beralihnya hak perwalian kepada wali hakim ditentukan apabila memang seluruh urutan tertib wali nasab sudah tidak ada atau masih ada tetapi pada urutan paling dekat dari jajaran wali nasab tersebut ternyata terdapat halangan untuk melaksanakannya.

Dalam Pasal 20 KHI diterangkan syarat seorang wali nikah. Artinya setelah adanya wali dalam pernikahan, tidak semata mata langsung menjadi wali tetapi masih ada syarat yang diperlukan dalam seseorang menjadi wali pernikahan tersebut. Yaitu beragama islam, sehat akalnya, dan dewasa. Sebagaimana  bunyi pasalnya yang menerangkan syarat wali tersebut yaitu :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari:

  1. Wali nasab;
  2. Wali hakim.[4]

Dalam ayat 2 pasal 20 diatas menyebutkan bahwa wali terbagi menjadi dua macam pertama wali nasab. Sebagaimana akan diterangkan dalam pasal selanjutnya. Pasal 21 berbunyi:

  1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

  1. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
  2. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
  3. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[5]

Pasal 21 diatas menerangkan siapa saja wali nasab yang berhak menjadi wali nikah, dalam ayat 1 disebutkan secara global bahwa kewenangan wali nasab pertama di tangan kerabat laki laki dan garis lurus keatas. Lalu diiringi dengan kerabat saudara kandung atau saudara seayah dan garis keturunan mereka, kemudian kerabat paman atau saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah dilanjutkan dengan keturunan mereka. Yang terakhir dari wali nasab adalah paman ayah kandung atau saudara kandung kakek atau saudara seayah kakek dan garis keturunan mereka. Lebih jelasnya pada PMA 20 tahun 2019 pasal 12 ayat (3) disebutkan.

Wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki urutan:

  • . bapak kandung;
  1. kakek (bapak dari bapak);
  2. bapak dari kakek (buyut);
  3. saudara laki-laki sebapak seibu;
  4. saudara laki-laki sebapak;
  5. anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seibu;
  6. anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
  7. paman (saudara laki-laki bapak sebapak seibu);
  8. paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak);
  9. anak paman sebapak seibu;
  10. anak paman sebapak;
  11. cucu paman sebapak seibu;
  12. cucu paman sebapak;
  13. paman bapak sebapak seibu;
  14. paman bapak sebapak;
  15. anak paman bapak sebapak seibu;
  16. anak paman bapak sebapak;[6]

Pasal 12 ayat (3) diatas dari huruf (a) sampai dengan huruf (c) adalah penjelasan dari kelompok pertama dari pasal 21 KHI diatas. Artinya bapak kakek dan buyut adalah kelompok kekerabatan garis lurus keatas. Kemudian dalam huruf (d) sampai huruf (g) adalah garis kekerabatan kesamping dan merupakan garis lurus ke samping. Sementara dari huruf (h) sampai dengan huruf (m) adalah garis kekerabatan saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah serta garis keturunan mereka. Terakhir dari huruf (n) sampai dengan huruf (q) adalah garis kekerabatan saudara kakek kandung dan kekerabatan saudara kakek seayah dan garis keturunan mereka. Dan apabila bertemu dua atau beberapa orang wali yang sama derajat kekerabatannya, sama derajat kandung atau sama kerabat seayah, mereka sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat syarat wali.

Dalam tertib wali nasab yang tersebutkan diatas, apabila wali yang berhak tidak memenuhi syarat maka kewenangan wali berpindah kepada kekerabatan selanjutnya sebagaimana diterangkan dalam pasal sesudahnya yaitu pasal 22 yang berbunyi:

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[7]

  1. Wali Hakim

Dalam KHI pasal 1 huruf (b) disebutkan:

Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.[8]

Sejalan dengan batasan dalam pasal 1 huruf (b) diatas, dipertegas lagi dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 tentang wali hakim. Dalam pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa:

Wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.[9]

Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat dan KHI. Maka dapat dipahami bahwa wali hakim mempunyai wewenang menikahkan perempuan demi hukum dan bukan sebagai wakil.

  1. Wali Nikah Ab ‘ad part 1

Kata ab ad berasal dari kata dasar ba ’a da yang artinya jauh sedangkan lawan kata dari ab ‘ad adalah akrab berasal dari kata qoroba yang artinya dekat. Kata ab ‘ad dihubungkan dengan wali nikah maka maksudnya adalah wali nikah yang jauh garis nasabnya dari calon istri. Dan sebaliknya, kata akrab dihubungkan dengan wali nikah, maksudnya adalah wali nikah yang dekat hubungan nasabnya dengan calon istri.

Deretan wali nikah yang paling berhak menjadi wali bagi calon istri adalah wali akrab. Wali ab ‘ad dalam pernikahan tidak boleh menjadi wali jika masih ada wali akrab, karena Wali ab’ad adalah wali yang masih jauh hubungan kenasabannya dengan calon istri. Seperti kakek  adalah wali ab ad jika ayah calon istri masih ada, tetapi ia akan menjadi wali akrab jika ayah calon istri sudah tidak ada.

Dapat dipahami, apabila wali nikah golongan satu nomor urut satu tidak ada, maka yang menjadi wali nikah akrabnya adalah wali nikah golongan satu no urut dua, jika wali nikah golongan satu nomor urut dua tidak ada maka yang menjadi wali nikah golongan satu nomor urut tiga yang menjadi wali dan begitu seterusnya. Apabila wali nikah golongan satu tidak ada lagi maka wali nikah golongan dua nomor urut satu yang menjadi wali nikah, jika tidak ada maka nomor urut dua yang akan menjadi wali nikah nya dan demikian seterusnya.

Wali ab’ad di KUA Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur berawal dari adanya laporan pernikahan di KUA Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur dengan nomor pemeriksaan 096/12/ /2021. Pernikahan ini didaftarkan pada tanggal 25 Mei 2021. Saat dilaksanakan pemeriksaan berkas, pengantin atas nama Muhammad Autad Muzakka bin Juwoto dan calon istrinya Erni Novianti binti Kuwato dan Wali Yang dilaporkan adalah paman kandung atas nama Sariman bin Karso Wagimin karena orang tua kandung dari calon istri sudah meninggal.

Saat hari pernikahannya, di kediaman calon istri yaitu di desa Raja Basa Baru petugas menanyakan kembali apakah tidak ada Wali nasab yang lebih dekat (akrab) dengan calon istri, calon istri mengatakan ”tidak ada Pak” , petugas kemudian mengurutkan tartib wali nasab mulai dari ayah, kakek, saudara kandung. Saat menyebut saudara kandung calon istri mengatakan bahwa saudara kandungnya masih kecil, kemudian ditanya umurnya berapa ” tujuh belas tahun pak tapi belum menikah” jawab calon istri. Kemudian petugas bertanya “mana orangnya?”, dan datanglah saudara kandungnya yang bernama Reno Andrian.

Dalam laporan pernikahan yang dilaporkan ke KUA Kecamatan Mataram Baru bahwa walinya adalah  Paman kandung. “Jika ada saudara kandung maka yang menjadi wali adalah saudara kandungnya dulu, jika tidak ada saudara kandung, saudara seayah, kemudian baru paman yang menjadi walinya”. Kata petugas menjelaskan. Karena saudara kandungnya masih ada, maka dilaksanakanlah pernikahan dari kedua mempelai ini dengan wali saudara kandung dan dituliskan dengan wali paman kandung. Saat pelaksanaan akad nikah, buku nikah telah di  print dan dibawa petugas ke acara akad nikah tersebut.

Petugas mengatakan kepada pengantin tersebut bahwa buku nikahnya tertulis wali nikahnya adalah paman kandung karena laporan saat pendaftaran berkas nikah ke KUA wali nikahnya adalah paman kandung. pengantin perempuan mengatakan gak pa pa pak” maka serahkanlah buku nikahnya dengan wali nikah paman kandung sementara pelaksanaan nikah dengan wali nikah saudara kandung

  1. Analisis hukum

Dari penjelasan di atas dapat analisis hukum dari pernikahan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru sebagai berikut :

  1. Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)

Pelaksanaan pernikahan dengan wali nikah aqrab dalam kasus diatas adalah mendahulukan syariah. Pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam harus dilakukan dengan wali akrab bukan wali abad. Melaksanakannya dengan hukum Islam adalah mendahulukan syariah. Jika dilaksanakan dengan wali ab ad maka pernikahan tersebut tidak sah karena masih ada wali akrabnya. jika dilaksanakan sesuai  dengan laporan maka pernikahan suami istri diatas tidak sah.

Dengan diketahuinya oleh petugas bahwa wali akrabnya masih ada maka petugas melaksanakannya dengan wali akrab untuk menjaga agar tetap sah pernikahan tersebut. Dan pernikahan diatas sesuai dengan agama dan kepercayaan nya. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan beragama mereka lebih tinggi dari pada mitos yang berkembang dalam masyarakat mereka bahwa seorang yang belum menikah tidak boleh menikahkan atau jadi wali. Kaidah mengatakan “ ma tsabata bis syar’i muqoddamun ala ma wajaba bisy syarthi “ Artinya: “Apa yang telah tetap menurut syara‟ didahulukan daripada yang wajib menurut syarat.” .

  1. Menyalahi UU Perkawinan

Tepatnya tidak sesuai denan pasal 2 ayat 2 Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan yang berbunyi “(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dicatatkan dalam ayat tersebut adalah ditulis dengan keadaan yang terjadi, sementara dalam pernikahan yang dilaksanakan dengan wali nikah akrab tapi dicatatkan dengan wali nikah ab ad. Dalam kasus Reno adrian dan adalah wali yang lebih akrab dari paman kandung Sariman. Dalam KHI pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa : … Kedua, kelompok kerabat saudara laki laki kandung atau saudara laki laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka…[10].  Hal ini dapat dilihat ketika kedua mempelai melaporkan pernikahannya dengan wali paman kandung padahal masih ada saudara kandungnya.

  1. Dewasa menurut undang undang

Laporan pernikahan dengan wali paman kandung bukan dengan saudara kandung karena mereka beranggapan bahwa orang yang belum menikah tidak boleh menikahkan (jadi wali nikah). Saudara kandung dari calon istri dalam hal ini belum menikah. Atau mereka beranggapan bahwa orang tersebut belum memenuhi syarat untuk menikahkan saudara kandungnya, karena statusnya jejaka (belum menikah). Ada anggapan dalam masyarakat, jika seseorang belum menikah maka tidak boleh menikahkan (menjadi wali nikah). Reno adrian, Wali saudara kandung mempelai wanita sudah dewasa atau baligh. Syarat menjadi seorang wali dalam pernikahan, salah satunya adalah baligh. Orang yang sudah baligh adalah orang yang sudah dewasa. Dewasa dalam dalam Undang Undang di Indonesia berbeda beda penentuan nya, seperti :

  1. Hukum Perdata KUHPerdata
    1. Pasal 330, hukum perdata berbunyi ”Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Dengan istilah ini dimaksudkan semua orang yang belum genap 21tahun dan yang sebelumnya tidak pernah kawin. Bila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan anak-anak. Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan lebih dahulu telah kawin.[11]
  2. Undang Undang Tenaga Kerja
    1. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003 Tentang Tenaga Kerja disebutkan pengertian anak yaitu: Anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun.[12]
  3. Undang-Undang Perkawinan
    1. Undang Undang no. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1), ”Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. dan pasal 50 ayat (1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Artinya dewasa ketika sudah diperbolehkan menikah, usianya 18 tahun. [13]

Undang-undang Republik Indonesia tidak menetapkan secara sepakat tentang batas usia dewasa. Bisa jadi perbedaan-perbedaan batas usia dewasa ini bukanlah merupakan hal yang salah, asalkan dalam implementasinya sesuai dengan konteks keperluan warga negara Indonesia. Hal itu mengacu pada asas Lex specialist derogat legi generalis, yaitu Undang-undang khusus menyimpang dari undang-undang umum, adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Dalam kaidah fikih berbunyi ikhtilaful ahkamul ijtihadiyah bikhtilafil biati wal aqthor “Perbedaan hukum-hukum ijtihadiyah disebabkan perbedaan lingkungan dan wilayah.”. Produk hukum dari ijtihad, baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif, tidaklah dimaksudkan untuk diberlakukan untuk setiap tempat dan sepanjang masa, melainkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai kondisi lingkungan dan wilayah mereka yang tentunya dipengaruhi oleh tradisi yang berbeda. ketentuan khusus menjadi kekhususan dalam kaidah yang umum. Misalkan saja, apabila ada seseorang yang ingin melaksanakan perkawinan, maka batas usia dewasa yang digunakan adalah batas usia menurut Undang-Undang Perkawinan bukan KUHPerdata, demikian juga tidak menurut Undang-Undang Tenaga Kerja karena tidak tepat jika menggunakan KUHPerdata untuk persyaratan usia pernikahan.

  1. Batasan dewasa (baligh) Dalam hukum Islam

Hukum Islam menetapan seseorang dikatakan usia dewasa dan cakap dalam hukum adalah ketika sampai pada usia baligh. Sejak itu dia dikatakan mukallaf, yaitu muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama. Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Batasan dewasa atau baligh dalam hukum islam ada beberapa tandanya.

  1. Ihtilam,

Ihtilam adalah keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya.  Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur‘an, dimana Allah ta‘ala berfirman :

وَإِذَا بَلَغَ ٱلْأَطْفَـٰلُ مِنكُمُ ٱلْحُلُمَ فَلْيَسْتَـْٔذِنُوا۟ كَمَا ٱسْتَـْٔذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَـٰتِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ ٥٩

Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin. (An Nuur: 59).

Dan hadits dari ali bin abi tholib

عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثلاثة: عن النائم حتى يَسْتَيْقِظَ، وعن الصبي حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون حتى يَعْقِلَ”.

Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam: Diangkat pena tidak dikenakan kewajiban pada tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[14].

Ijma‘ ulama bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi laki-laki dan perempuan.

  1. Tumbuhnya Rambut Kemaluan.

Tumbuhnya Rambut kemaluan menjadi pertanda baligh menurut mayoritas ulama madzhab dari kalangan Hanbali, Maliki dan Syafi‘i. Berdasar kepada hadits nabi

عَنْ عَطِيَّةَ الْقُرَظِيِّ قَالَ عُرِضْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي

Athiyyah berkata: Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam pada hari Quraidhah, di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan [15].

Dari riwayat diatas, menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang. [16]

  1. Mencapai Usia tertentu menurut hitungan kalender Hijriyah.

Kalau seorang anak tidak mengalami fase ihtilam bagi lak-laki dan keluarnya darah haidh bagi perempuan maka kedewasaan dilihat dari usianya mencapai 15 tahun menurut madzhab Syafi‘i, Hanbali, sebagian pengikut madzhab Maliki dan sebagian pengikut madzhab Hanafi. Sedangkan madzhab Dzahiri berpendapat apabila berusia 19 tahun. Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam permasalahan ini adalah hadits

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْهُ وَعَرَضَهُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ

Dari Ibnu ‘Umar ra., ia berkata:. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku.[17]

Pandangan masyarakat, apabila seorang wali itu belum menikah, tidak boleh menikahkan atau jadi wali. Penulis dalam hal ini mengambil kesimpulan dengan menjadikan saudara kandungnya yang belum menikah sebagai wali dengan pertimbangan usia paling rendah dalam menetukan dewasa dalam hukum islam yaitu umur 15  tahun. Dengan mengacu kepada kaidah “izha ijtama amroni min jinsin wahidin wa lam yakhtalif maksuduhuma dahola ahadu huma fil akhori gholiban artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain.” Kaidah ini dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang masuk kepada yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar dari dua perkara tersebut, karena sebenarnya yang lebih besar itu telah mencakup yang lebih kecil. Seorang yang berhadats kecil dan hadats besar (junub), maka cukup bersuci dengan mandi saja. “ jika diambil bagian yang paling besar dari sesuatu maka yang paling kecil sudah merupakan dalam bagian yang paling tersebut. Umur dewasa mulai 15 tahun maka, orang yang umurnya sudah melewati 15 tahun juga sudah termasuk dewasa. jadi mementukan 15 tahun sudah termasuk yang lainnya. Bahkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia ukuran seorang dewasa adalah berumur 15 tahun.[18] Kedua Adanya wali dalam pernikahan hanya ada dalam pernikahan yang sesuai dengan hukum islam, maka penentuan dewasanya wali harus seuai dengan hukum islam karena sah pernikahan adalah sesuai dengan agama dan kepercayaaan masing masing.

  1. Mentaati Undang Undang

Pernikahan dengan wali akrab dicatatkan dengan wali ab ad adalah usaha untuk mentaati perundang undangan terutama dalam undang undang pernikahan. Tujuannya benar tetapi jalan yang ditempuh tidak benar. Karena dalam undang undang syarat seorang dewasa adalah umur 19 tahun sementara Jika calon istri diam, tidak memberitahukan yang sesungguhnya tentang wali nikahnya kepada KUA, maka mereka akan menikah dengan  wali ab ad yang jelas jelas masih ada wali akrabnya yang membuat tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

Pencatatan pernikahan yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing tentu saja tidak sesuai dengan undang undang, tujuan salah dan jalannya juga salah. Peristiwa pernikahan dengan wali akrab tetapi dicatat dengan wali ab’ad adalah sesuatu usaha untuk mematuhi ketentuan undang undang. Penulisan akta nikah pada kolom wali nikah paman dan dilaksanakan dengan saudara kandung tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut, tetapi pencatatan peristiwa pernikahan tersebut menyatakan bahwa peristiwa pernikahan itu memang ada dan terjadi. Kaidah fikih mengatatakan ’tasorruful imam ’ala ro’iyah manutun bilmaslahah’ . “ kebijakan pemimpin ( pemerintah) terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan.” Pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak sebagai warga negara. Hal tersebut merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara untuk warga negaranya karena Perkawinan adalah perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan dan tentu menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat luas. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dihasilkan dari pencatatan perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.

  1. Kesimpulan

Pernikahan dengan wali akrab yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru dan dicatatkan dengan wali nikah ab’ad

  1. Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)
  2. Menyalahi UU perkawinan
  3. Mentaati Undang Undang

 

 

[1] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[2]. At-Tirmidzi (no. 1101), Abu Dawud (no. 2085), Ibnu Majah (no. 1881), Ahmad (no. 19024) al-Hakim (I/170)

[3] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

 

[4] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[5] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[6] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan

[7] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan

[8] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[9] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

[10] . KHI pasal 21

[11] . KUHP pasal 330.

[12] . UU. no. 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan Pasal 1 ayat (2).

[13] . UU. no. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1).

[14] . Sunan at-Tirmidzi (no. 574), Shahiih Muslim (II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).

[15] . HR. Tirmidzi 1510 .

[16] . Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210

[17] . HR. Al-Bukhari 3788

[18] . https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/akil%20balig tgl 17 11 2022 jam 10.20

Artikel ini telah dibaca 0 kali

Baca Lainnya

Mitsaqan Ghalidzan: Ketika Akad Nikah Disetarakan Dengan Amanah Para Nabi

29 Juli 2025 - 07:58 WIB

Ramuan Kebahagiaan

20 Juni 2025 - 12:03 WIB

Raih Pahala Berlimpah, Dengan Menanam Pohon

22 April 2025 - 14:15 WIB

PELUK ERAT RAMADHANMU SEBELUM DIA PERGI (Muhasabah Diri Di Penghujung Ramadhan)

18 Maret 2025 - 10:30 WIB

Perlukah “Berburu” Lailatul Qodar ?

11 Maret 2025 - 15:08 WIB

AL-QUR’AN: Teman Sejati dan Penolong di Alam Kubur

4 Maret 2025 - 14:02 WIB

Trending di Artikel